Ulasan Lengkap Akta, Akta Otentik, & Akta Dibawah Tangan
Fandy, S.H., M.Kn. – Notaris Lumajang
Berhubung ada pembaca setia yang masih belum mengerti, Sebagai
Pengelola Blog Kantor Notaris PPAT Lumajang, kali ini akan menjelaskan kembali
lebih detail tentang Apa itu Akta, Akta Otentik, dan Akta Dibawah Tangan ?
Pengertian Akta
Istilah atau
perkataan akta dalam
bahasa Belanda disebut “acte” atau ”akta” dan dalam
bahasa Inggris disebut
“act” atau “deed”.
Akta menurut Sudikno Mertokusumo merupakan surat yang diberi
tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,
yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.[1]
Menurut subekti, akta
berbeda dengan surat, yaitu
suatu tulisan yang
memang dengan sengaja
dibuat untuk dijadikan bukti
tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.[2]
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud akta, adalah:
- Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling)
- Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada pembuktian sesuatu.[3]
Pada Pasal 165 Staatsblad Tahun 1941
Nomor 84 dijelaskan
pengertian tentang akta yaitu sebagai berikut:
Akta adalah surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai yang berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai pemberitahuan hubungan langsung dengan perihal pada akta itu.
Akta mempunyai 2
(dua) fungsi penting
yaitu akta sebagai
fungsi formal yang mempunyai arti
bahwa suatau perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila di
buat suatu akta.
Fungsi alat bukti
yaitu akta sebagai
alat pembuktian dimana dibuatnya
akta tersebut oleh
para pihak yang
terikat dalam suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian
di kemudian hari.[4]
Jenis akta
Akta adalah suatu surat
yang ditandatangani, memuat
keterangan tentang kejadian-kejadian atau
hal-hal yang merupakan
dasar dari suatu
perjanjian. Pasal 1867 KUH
Perdata menyatakan:
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik
maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terdapat dua
macam akta yaitu akta otentik dan akta
di bawah tangan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Akta Otentik
Akta Otentik adalah
akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa,
menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa
bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk
dimuat didalamnya oleh
yang berkepentingan, akta
otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan
dilihat di hadapannya.
Dalam Pasal 165
HIR dan Pasal 285 Rbg, akta
otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu, merupakan bukti yang
lengkap antara para pihak dan para
ahli warisnya dan
mereka yang mendapat
hak daripadanya tentang
yang tercantum di dalamnya
dan bahkan sebagai
pemberitahuan belaka, akan
tetapi yang terakhir ini hanya
diberitahukan itu berhubungan
dengan perihal pada
akta itu. Pejabat yang
dimaksudkan antara lain
ialah Notaris, Panitera,
Jurusita, Pegawai Pencatat Sipil, Hakim dan sebagainya.
Akta otentik menurut ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu
”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”
Menurut R. Soergondo,
akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk hukum, oleh
atau dihadapan pejabat umum, yang berwenang untuk berbuat sedemikian itu,
ditempat dimana akta itu dibuat.[5]
Irwan Soerodjo mengemukakan
bahwa ada 3
(tiga) unsur esenselia
agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:[6]
- Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
- Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.
- Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
Demikian pula menurut
C.A. Kraan akta
otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[7]
- a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.
- b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang.
- c. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan atau jabatan pejabat yang membuatnya).
- d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk –independence) serta tidak memihak (onpartijdigheid –impartiality) dalam menjalankan jabatannya.
- e. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum didalam bidang hukum privat.
Akta Otentik adalah produk yang dibuat oleh seorang notaris.
Dari beberapa pendapat diatas
maka dapat diketahui
bahwa bentuk akta
yang dibuat oleh notaris ada 2
(dua) macam yaitu:
- Akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akte) merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari orang/pihak yang namanya diterangkan didalam akta tersebut. Ciri khas dalam akta ini adalah tidak adanya komparisi dan Notaris bertanggung jawab penuh atas pembuatan akta.
- Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta partij (partij-acteri) adalah akta yang dibuat dihadapan para pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan akta itu dibuat atas permintaan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Ciri khas pada akta ini adalah adanya komparisi yang menjelaskan kewenangan para pihak yang menghadap Notaris untuk membuat akta.[8]
Perbedaan akta tersebut
diatas sangat penting
dalam kaitannya dengan pembuktian sebaliknya (tegenbewijs)
terhadap isi akta, dengan demikian terhadap kebenaran isi
akta pejabat (ambtelijke
akte) atau akta relaas tidak dapat
digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu, sedangkan
pada akta partij dapat digugat isinya,
tanpa menuduh bahwa
akta tersebut akta
palsu akan tetapi dengan
jalan menyatakan bahwa
keterangan dari para
pihak yang bersangkutan yang diuraikan
dalam akta itu
tidak benar. Pembuatan
akta, baik akta relaas maupun akta partij yang menjadi
dasar utama atau
inti dalam pembuatan
akta otentik, yaitu harus
ada keinginan atau
kehendak (wilsvorming) dan
permintaan dari para pihak,, jika keinginan dan permintaan para pihak
tidak ada, maka pejabat umum tidak akan membuat akta yang dimaksud.[9]
Akta Dibawah Tangan
Akta dibawah tangan
adalah akta yang
dibuat serta ditandatangani oleh para
pihak yang bersepakat
dalam perikatan atau
antara para pihak
yang berkepentingan saja. Menurut Sudikno Mertokusumo, akta dibawah
tangan adalah akta yang sengaja
dibuat untuk pembuktian
oleh para pihak
tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat
antara pihak yang berkepentingan.[10]
Pasal 1874 KUH
Perdata menyebutkan bahwa: “yang
dianggap sebagai tulisan dibawah
tangan adalah akta
yang ditandatangani dibawah
tangan, surat, daftar, surat
urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan
yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang
pejabat umum”.
Didalam Pasal 1902
KUHPerdata dikemukakan mengenai syarat-syarat bilamana terdapat bukti
tertulis, yaitu:
- Harus ada akta
- Akta itu harus dibuat oleh orang terhadap siapa dilakukan tuntutan atau dari orang yang diwakilinya
- Akta itu harus memungkinkan kebenaran peristiwa yang bersangkutan.
Akta di bawah
tangan dapat menjadi
alat pembuktian yang
sempurna terhadap orang yang
menandatangani serta para
ahli warisnya dan
orang-orang yang mendapatkan hak
darinya hanya apabila
tanda tangan dalam
akta di bawah tangan tersebut diakui oleh orang
terhadap siapa tulisan itu hendak
dipakai. Oleh karena itu dikatakan
bahwa akta dibawah
tangan merupakan bukti
tertulis (begin van schriftelijk bewijs).
Kekuatan Pembuktian
Akta Otentik
Kekuatan
pembuktian akta otentik dalam
hal ini terdapat 3 (tiga)
aspek yang harus diperhatikan ketika akta dibuat, aspek-aspek ini
berkaitan dengan nilai pembuktian, yaitu : [11]
1. Lahiriah (uitwendige bewijskracht)
Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu
sendiri untuk membuktikan
keabsahannya sebagai akta
otentik. Jika dilihat
dari luar (lahirnya) sebagai akta
otentik serta sesuai
dengan aturan hukum
yang sudah ditentukan mengenai
syarat akta otentik, maka akta tersebut
berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang
membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal
ini beban pembuktian ada pada pihak yang
menyangkal keotentikan akta
Notaris. Parameter untuk menentukan akta
Notaris sebagai akta
otentik, yaitu tanda
tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada
minuta dan salinan serta adanya awal akta (mulai dari judul) sampai dengan
akhir akta.
Nilai pembuktian akta
notaris dari aspek
lahiriah, akta tersebut
harus dilihat apa adanya
yang secara lahiriah
tidak perlu dipertentangkan dengan
alat bukti yang lainnya.
Jika ada yang
menilai bahwa suatu
akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik, maka yang
bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan
akta otentik.
Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik,
bukan akta otentik,
maka penilaian pembuktiannya
harus didasarkan kepada syarat-syarat akta
Notaris sebagai akta
otentik. Pembuktian semacam ini harus
dilakukan melalui upaya
gugatan ke Pengadilan.
Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang
menjadi objek gugatan bukan akta Notaris.
2. Formil (formele bewijskracht)
Akta Notaris harus
memberikan kepastian bahwa
sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan
oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang
tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur
yang sudah ditentukan
dalam pembuatan akta.
Secara formal untuk membuktikan kebenaran
dan kepastian tentang
hari, tanggal, bulan,
tahun, pukul (waktu) menghadap,
dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi
dan Notaris, serta
membuktikan apa yang
dilihat, disaksikan, didengar oleh
Notaris (pada akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan atau
pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak).
Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan formalitas dari
akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan, dan didengar oleh Notaris. Selain itu juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan
dihadapan Notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak, saksi,
dan Notaris ataupun ada
prosedur pembuatan akta
yang tidak dilakukan. Dengan kata lain, pihak yang mempermasalahkan akta tersebut
harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari
akta Notaris.
Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka
akta tersebut harus diterima oleh siapapun.[12]
3. Materiil (materiele bewijskracht)
Kepastian
tentang materi suatu
akta sangat penting,
bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian
yang sah terhadap
pihak-pihak yang membuat akta
atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan
atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam
akta pejabat (atau
berita acara), atau
keterangan para pihak yang
diberikan/disampaikan di hadapan Notaris dan para pihak harus dinilai benar. Perkataan
yang kemudian dituangkan/dimuat dalam
akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang
yang datang menghadap Notaris yang kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam
akta harus dinilai
telah benar berkata demikian. Jika
ternyata pernyataan/keterangan para
penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka hal tersebut tanggung jawab
para pihak sendiri. Notaris terlepas
dari hal semacam itu.
Dengan demikian isi
akta Notaris mempunyai kepastian
sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk / diantara para pihak dan
para ahli waris serta para penerima hak mereka.
Jika akan membuktikan
aspek materil dari
akta, maka yang
bersangkutan harus dapat membuktikan
bahwa Notaris tidak
menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta, atau
para pihak yang telah benar berkata (dihadapan Notaris) menjadi tidak benar
berkata, dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil
dari akta Notaris. Dalam praktik pembuatan akta Notaris, ketiga aspek tersebut
tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Namun aspek-aspek tersebut
harus dilihat secara keseluruhan sebagai
bentuk penilaian pembuktian atas
keotentikan akta Notaris.
Alamat Kantor Notaris PPAT Lumajang |
========================================================================
Footnote:
[1] Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara
Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta (selanjutnya ditulis Sudikno Mertokusumo II), hlm.149
[2] Subekti, 2005, Hukum Pembuktian, PT.
Pradnya Paramitha, Jakarta, hlm.25
[3] Victor M.Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta dalam pembuktian dan Eksekusi,
Rinika Cipta, Jakarta, 1993, hal 26
[4] Sudikno
Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum
Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta (selanjutnya ditulis Sudikno Mertokusumo
III), hlm.121-122
[5] R.Soegondo, 1991, Hukum Pembuktian, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta,hal 89
[6] Irwan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas
Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, hal 148
[7] Herlien
Soerojo, 2003, Kepastian Hukum
Hak Atas Tanah
di Indonesia, Arloka, Surabaya, hal 148
[8] Sjaifurrachman dan
Habib Adjie, 2011, Aspek
Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung,
hal 109
[9] G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan
Notaris, Op.Cit., hlm.51-52.
[10] Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara
Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal 125.
[11] Habib
Adjie, Hukum Notaris Indonesia
(Tafsir Tematik Terhadap
UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.
72
[12] Ibid, hal. 73