ANALISIS PEMBUATAN SURAT KETERANGAN WARIS YANG DIDASARKAN PADA PENGGOLONGAN PENDUDUK (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis)
Notaris Lumajang - 081338999229
Harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris, menurut hukum jatuh kepada ahli waris, bahkan bukan hanya harta bendanya akan tetapi termasuk hutang dan beban-beban dari yang meninggal dunia.[1] Untuk membuktikan siapa-siapa yang berhak atas harta waris yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal (pewaris) dibutuhkan Surat keterangan ahli waris, sebagai alat bukti yang menjadi dasar atas pembagian harta warisan, baik atas siapa yang berhak dan/atau berapa jumlah bagian yang berhak dimiliki oleh ahli waris baik berdasarkan Legitieme Portie dan/atau berdasarkan wasiat.
Dalam praktek pembuatan surat keterangan waris dilakukan oleh pejabat yang berbeda, yang didasarkan pada golongan penduduk, terdapat tiga pejabat yang berwenang membuat surat keterangan waris, yakni Notaris, Balai Harta Peninggalan (BHP), atau dibuat sendiri oleh ahli waris di atas kertas dengan disaksikan oleh Lurah/Kepala Desa dan dikuatkan oleh Camat.
Pembuatan surat keterangan waris tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Penggolongan tersebut sangat mirip dengan penggolongan penduduk yang di dasarkan pada Pasal 131 dan Pasal 163 IS (Indische Staatregeling), yang mengatur penduduk Hindia Belanda menjadi 3 golongan antara lain, Golongan Eropa, Golongan Bumiputera, Golongan Timur Asing,[2] yang dalam
perkembangannya dicabut pemberlakuannya melalui Intruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tertanggal 27 Desember 1966, yang dilakukan demi tercapainya pembinaan kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan homogen.[3]
perkembangannya dicabut pemberlakuannya melalui Intruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tertanggal 27 Desember 1966, yang dilakukan demi tercapainya pembinaan kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan homogen.[3]
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, salah satu sasaran pembangunan di bidang hukum adalah penghapusan terhadap segala bentuk diskriminasi dalam berbagai bentuk, yang dilakukan dengan cara penyempurnaan (membuat sesuatu yang lebih baik), perubahan (agar menjadi lebih baik dan modern), atau peniadaan sesuatu yang ada pada sistem hukum lama yang telah tidak dibutuhkan dan juga tidak sesuai dengan sistem hukum yang baru.[4]
Atas dasar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 tersebut, diundangkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik, yang di dalam konsiderannya mempertimbangkan bahwa umat manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan apa pun, baik ras maupun etnis; bahwa segala tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis; bahwa adanya diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan;
Di dalam pelaksanaan pembuatan Surat Keterengan Waris ditemukan berbagai permasalahan, pembuatan surat keterangan waris yang tidak memberikan kepastian hukum kepada ahli waris, karena dasar pembuatannya yang lemah, sehingga diragukan atas kekuatan pembuktiannya, (menjadi alat bukti akta otentik atau akta di bawah tangan).
Di dalam teori hukum berlaku beberapa asas yang berfungsi untuk menjaga ketaatan asas atau konsistensi, menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam sistem hukum dan sebagai rekayasa sosial, yakni lex superior derogat legi inferiori: Lex specyalist derogat legi general; dan lex posteriori derogat legi priori.[5]
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang oleh negara untuk membuat akta otentik. Sedangkan tanggung jawabnya adalah memastikan bahwa akta yang dibuat memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga akta yang dibuat harus sesuai dengan unsur-unsur yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata.
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang oleh negara untuk membuat akta otentik. Sedangkan tanggung jawabnya adalah memastikan bahwa akta yang dibuat memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga akta yang dibuat harus sesuai dengan unsur-unsur yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata.
Dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan, dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Pengahapusan Diskriminasi Ras dan Etnik pada khususnya, maka sesungguhnya tidak boleh lagi ada pembedaan/penggolongan penduduk yang didasarkan pada ras dan etnis, demikian pula berkaitan dengan pembuatan surat keterangan waris sebagai alat bukti karena bertentangan dengan filosofi negara yakni Pancasila khususnya Sila ke Tiga Persatuan Indonesia, Undang-undang Dasar Republik Indonesia dan Undang-undang yang berada di bawahnya.
A. Pembuatan Surat Keterangan Waris oleh Pejabat berdasarkan Golongan Penduduk
Penggolongan penduduk di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah kelam Indonesia pada pra kemerdekaan, khususnya berkaitan dengan politik hukum yang berfungsi sebagai pedoman dasar atas
pembentukan hukum positif yang pernah dan/atau masih berlaku.
pembentukan hukum positif yang pernah dan/atau masih berlaku.
Politik hukum erat kaitannya dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakan hukum, sebagaimana definisi politik hukum yang dikemukakan oleh para ahli, yakni sebagai berikut:
Padmo Wahjono mendefinisikan: “Politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk; Politik Hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu.”
Menurut Jazim Hamidi, Poltik Hukum adalah ‘kebijakan’ yang diambil atau ‘ditempuh’ oleh negara melalui lembaga negara atau pejabat yang diberi wewenang untuk menetapkan hukum yang mana yang perlu diganti, atau yang perlu diubah, atau hukum yang mana yang perlu dipertahankan, atau hukum mengenai apa yang perlu diatur atau dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggaraan negara dan pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan tertib, sehingga tujuan negara secara bertahap dapat terencana dan dapat terwujud.[6]
Politik hukum tersebut kuat dipengaruhi oleh adanya perubahan sistem pemerintahan Pemerintah Belanda dari sistem pemerintahan monarki absolut menjadi sistem pemerintahan monarki konstitusional yang produk keputusannya “Algemene Verordening” (Peraturan Pusat)/”Koninklijk
Besluit” (Besluit Raja) juga diberlakukan di Nederlands Indie (Hindia Belanda), Politik hukum yang berlaku juga kuat dipengaruhi oleh fenomena politik yang berkembang dan berubah-ubah.
Besluit” (Besluit Raja) juga diberlakukan di Nederlands Indie (Hindia Belanda), Politik hukum yang berlaku juga kuat dipengaruhi oleh fenomena politik yang berkembang dan berubah-ubah.
Seiring dengan perubahan sistem pemerintahan Belanda dari sistem pemerintahan monarki konstitusional menjadi sistem pemerintahan monarki konstitusional parlementer, terdapat perubahan politik hukum yang juga berpengaruh terhadap pemerintahan dan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di daerah jajahan Belanda, perubahan tersebut didasarkan pada Pasal 59 ayat I, II, dan IV Grondwet atau yang kemudian disebut dengan Regerings Reglement (RR).[7]
Kemudian pada Pasal 75 grondwet atau yang kemudian disebut Regerings Reglement (RR), ditemukan politik hukum penggolongan penduduk yang serupa dengan ketentuan Pasal 11 AB, namun dengan penggolongan penduduk tidak lagi didasarkan pada agama, melainkan didasarkan pada “siapa yang menjajah” dan “siapa yang dijajah” sebagaimana diatur dalam Pasal 109 RR.[8] Pada tahun 1920, grondwet kembali mengalami perubahan, yang kemudian disebut dengan Regerings Reglement RR (baru), demikian pula dengan politik hukum yang diusung, juga mengalami perubahan.
Berdasarkan Pasal 75 RR (baru) penggolongan penduduk tidak lagi didasarkan pada “siapa yang menjajah” dan “siapa yang dijajah” melainkan didasarkan pada siapa yang disebut “pendatang” dan siapa yang disebut “yang didatangi”. Secara spesifik golongan penduduk dibedakan menjadi tiga golongan yakni, golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumi Putra.[9]
Demikian pula sebagai akibat dibentuknya volksraad (wakil rakyat), Regerings Reglement (RR) diubah menjadi Indische Staatsreheling (IS) sebagai grondwet, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1926 melalui S. 1925 : 415. Melalui Pasal 131, IS menetapkan politik hukum, yang isinya merupakan apa yang telah dituangkan dalam Pasal 75 RR (baru).[10]
Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut di Pasal 163 IS, yang disalin secara utuh dari ketentuan Pasal 109 RR (baru), Pasal 163 IS terdiri dari 6 ayat, namun yang berkaitan dengan penggolongan penduduk hanya terdiri dari 4 ayat.[11]
Pasal 131 IS sebagai hukum dasar/grondwet juga berlaku sebagai politik hukum yang menjadi payung atas pemberlakuan peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang ada berada di bawahnya, dan yang akan diberlakukan di masa mendatang. Berdasarkan politik hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 131 IS tersebut, maka terdapat pemberlakuan hukum yang berbeda bagi setiap golongan penduduk.[12]
Berkaitan dengan keberadaan Notaris, lembaga Notaris telah dikenal sejak abad 17 bersamaan dengan keberadaan VOC (Verrenigde Oost Ind Compagnie) di Indonesia, Notaris ditunjuk oleh Jan Pieterszoon Coen Gubernur Jenderal, untuk memenuhi keperluan penduduk dan pedagang di Jakarta, pada masa itu Notaris disebut Notarium Publicum.[13]
Keberadaan Notaris di Hindia Belanda kemudian diberikan batasan wewenang dan tugasnya untuk membuat akta dan kontrak-kontrak melalui S. 1822: 11, melalui stablaad tersebut, Notaris dalam melaksanakan tugas dan wewenanganya bertujuan untuk memberikan kepada akta yang dibuatnya kekuatan pembuktian dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grosse atau salinan yang sah dan benar.
Tidak satupun terdapat di dalam Notariswet ketentuan yang mengatur mengenai pembuatan surat keterangan waris, pembuatan surat keterangan waris selama itu didasarkan pada Pasal 14 ayat 1 dan 3 Grootboeken ner Nationale Schuld, yang dengan asas konkordansi juga diberlakukan di Hindia Belanda. Ketentuan tersebut dianggap sebagai lex specialist yang secara khusus menjadi dasar atas pembuatan surat keterangan waris, yang kemudian dalam sistem hukum Indonesia pasca kemerdekaan diakui dan diterima sebagai doktrin dan yurisprudensi hingga kemudian dianggap sebagai hukum kebiasaan pula.[14]
Ketentuan tersebut menjadi dasar pembuatan Surat Keterangan Waris bagi golongan Timur Asing Cina atau bagai Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa.[15]
Sedangkan bagi golongan Timur Asing lainnya, maka pembuatan Surat Keterangan Waris dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (Weeskamer), sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 2 Ordonnantie tanggal 22 Juli 1916, S. 1916: 517 diubah LN 1931: 168 dan LN 1937:611.
Sedangkan pembuatan Surat Keterangan Waris untuk Warga Negara Indonesia Penduduk Asli/golongan Bumi Putra selama ini menjadi kewenangan regent atau kepala pemerintah setempat, yang dibuat oleh ahli waris dengan bentuk di bawah tangan, diberikan materai, dan disaksikan oleh dua orang saksi, diketahui oleh lurah atau kepala desa dan dikuatkan oleh camat. Namun tidak satupun penulis menemukan dasar hukum pembuatan surat keterangan waris bagi golongan bumi putra/Warga Negara Indonesia Penduduk Asli, hingga kemudian dipahami sebagai hukum kebiasaan.
Dengan demikian maka pembuatan surat keterangan waris berdasarkan penggolongan penduduk telah ada sejak jaman VOC, dewasa ini didasarkan pada asas konkordansi Pasal 14 Wet opde Grootboeken der Nationale Schuld (Undang-undang tentang Buku Besar Perutangan Nasional diBelanda), Pasal 14 ayat 2 Ordonnantie tanggal 22 Juli 1916, S. 1916: 517 diubah LN 1931: 168 dan LN 1937:611, Surat Edaran Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria tanggal 20 Desember 1969 No.Dpt/12/63/69., Fatwah Mahkamah Agung atas permintaan dan ditujukan kepada Ny, Sri Redjeki Kusnun, S.H., tertanggal Jakarta, 25 Maret 1991, No. KMA/041/III/1991 jo. Surat Ketua Mahkamah Agung kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia tertanggal Jakarta, 8 Mei 1991 No.MA/Kumdil/171/V/K/1991., Pasal 111 ayat 1 huruf c angka 4 PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 42 ayat (1) jo. PERMENAG
Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.[16]
Pembuatan surat keterangan waris oleh instansi yang berbeda-beda merupakan salah satu konsekuensi akibat masih berlakunya pluralisme sistem hukum waris dan terdapatnya perbedaan kebutuhan keperdataan masing-masing “golongan penduduk”. [17]
Dari perspektif tujuan hukum, maka politik hukum dan sistem hukum waris yang diberlakukan berdasarkan golongan tersebut, tidak dapat dikatakan telah memberikan keadilan hukum, khususnya bagi golongan bumiputra/Warga Negara Indonesia Penduduk Asli, untuk memperoleh Surat Keterangan Waris yang memenuhi hukum pembuktian.
Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaiman dituangkan dalam XA tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 28D Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Demikian pula dari persepektif wewenang atas pembuatan surat keterangan waris oleh beberapa pejabat dan/instansi, dasar wewenang yang dimiliki dianggap lemah atau bahkan dianggap tidak memiliki dasar. Lemah karena wewenang yang secara prinsip haruslah bersumber pada peraturan perundang-undangan dianggap tidak lagi sesuai dengan politik hukum, kesadaran hukum tidak lagi dianggap sesuai dengan tata nilai dan filsafat hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia. Sehingga pemberlakuan Pasal 14 ayat 1 dan 3 Grootboeken der Nationale Schuld sebagai suatu kebiasaan sudah tidak dapat diterima lagi.
Asas konkordansi sudah tidak dapat diterapkan lagi sejak Indonesia merdeka. Lepas dari seumber hukum dan asas hukum konkordansi tersebut, hukum harus pula didukung oleh politik hukum dan kesadaran hukum sesuai dengan tata nilai dan filsafat hukum dari negara yang bersangkutan. Tetap mendasarkan pada asas “konkordansi”, ketentuan Pasal 14 ayat 1 dan 3 Grootboeken der Nationale Schuld sebagai kebiasaan sudah tidak tepat lagi. [18]
Ketentuan tersebut diberlakukan atas dasar politik hukum “devide et impera”/”politik memecah belah”, antara golongan pribumi dan golongan timur asing Tionghoa. [19]
Diskriminasi, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008, diskriminasi adalah adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 mengenal dua macam diskriminasi, yakni diskriminasi Ras dan diskriminasi etnik. Ras menurut Pasal 1 angka 2 undang-undang Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan, definisi ini tidak jauh berbeda dengan Ras menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang diartikan sebagai golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa.[20]
Etnis sebagai sebuah istilah memiliki arti yang lebih luas, karena etnis juga dapat digolongkan berdasarkan ras. Hal ini dikemukakan oleh T,K. Oommen, menurutnya terdapat beragam atribut yang mencirikan kelompok etnis, yaitu: agama, sekte, kasta, daerah, bahasa, nasionalisme, keturunan, ras, warna kulit dan kebudayaan.[21] Sedangkan Etnis menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.
Kedua istilah tersebut cukup erat korelasinya dengan fenomena penggolongan penduduk yang telah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda sebagaimana dijelaskan di sub bab sebelumnya, Hesti di dalam bukunya “Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM Studi Tentang Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa”, menegaskan bahwa bentuk penggolongan penduduk tersebut merupakan bentuk diskriminasi rasial.[22]
Hal ini bertentangan dengan Pasal 4 Bab III tentang Tindakan Diskriminatif, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminatif Ras dan Etnis, yaitu:
Di dalam praktek memperlakukan berbeda bagi golongan penduduk tertentu dalam pembuatan surat keterangan waris mengacu pada Pasal 163 IS, sesungguhnya merupakan tindakan yang mengakibatkan pengurangan pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Terdapat hak asasi bagi seluruh penduduk Indonesia untuk memperoleh alat bukti yang sempurna dalam hukum perdata khususnya dalam hal ini alat bukti atas hak waris yang dimilikinya, tidak terkecuali bagi golongan pribumi dan golongan timur asing selain Tiong Hoa, yang selama ini dibuat dibawah tangan atau dibuat oleh pejabat/instansi yang tidak tepat untuk itu.
Diskriminasi merupakan tindakan yang menjadi permasalahan hukum dan Hak Asasi Manusia, HAM sebagai nilai dan/atau norma menjamin dan mengakui bahwa setiap orang berhak menikmati hak-hak dan kebebasan dasar yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia.[23] Pasal 2 ayat 1 Bab II Asas Dan Tujuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 menegaskan bahwa Penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Pemberlakuan asas persamaan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis tersebut sejalan dengan Pasal 3 dan Pasal 26 International Convenant on civil and Political Rights (ICCPR).
Diskriminasi rasial dalam pembuatan surat keterangan waris, bertentangan dengan semangat pembangunan negara demokrasi (nation building), bahwa dengan adanya penggolongan penduduk khususnya dalam pembuatan surat keterangan waris, terjadi sebuah tindakan dan/atau kebijakan yang bertentangan dengan hukum yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis berupa tindakan pembedaan dan/atau pembatasan bagi golongan-golongan tertentu untuk memperoleh kebebasan dasar dan/atau pelaksanaan hak asasi manusia berupa kebutuhannya untuk memperoleh alat bukti otentik yang menerangkan dirinya sebagai pihak yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan untuknya dan pula bertentangan dengan teori negara hukum yang dewasa ini, mensyaratkan adanya beberapa prinsip, sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie yang pada prinsipnya adalah untuk memberikan jaminan perlindungan hak bagi setiap individu atas kebebasan, anti diskriminasi dan kesetaraan, khususnya Persamaan dalam hukum (Equality before the law); penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (Due Process of law); Perlindungan Hak Asasi Manusia.[24]
Notaris sebagai sebuah jabatan profesional, sangat mungkin melakukan kesalahan dalam menjalankan jabatan (beroesfout), yang disebabkan oleh kekurangan pengetahuan (onvoldoende kennis), kurang pengalaman (onvoldoende ervaring), atau disebabkan oleh kurang pengertian (onvoldoende inzicht). Kesalahan yang disebabkan oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya dapat menyebabkan kerugian bagi klien karena akta kekuatan pembuktianya terdegradasi menjadi akta di bawah tangan, atau akta menjadi batal demi hukum, sehingga karena kesalahannya tersebut, seorang Notaris dapat dituntut di muka pengadilan baik karena wanprestasi (ingkar janji) dan/atau karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad). Sehingga atas kesalahan yang dilakukan oleh Notaris, ia sebagai pejabat umum wajib bertanggung jawab dan/atau bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukannya.
Notaris wajib mengetahui hal-hal yang tidak dikehendaki oleh hukum, atau akta harus dibuat berdasarkan aturan hukum yang berlaku, tidak terkecuali dengan pemberlakuan hukum yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa akta notariil tetap memiliki kekuatan pembuktian di bawah tangan sejauh akta ditandatangani dan substansi akta tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan khususnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis jo. Pasal 1337 KUH Perdata, “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Sedangkan apabila substansi akta notariil bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan khususnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis jo. Pasal 1337 KUH Perdata, maka dapat dikatakan terdapat cacat hukum di dalamnya, yang dengan penetapan pengadilan dapat dinyatakan batal demi hukum.
Pasal 6 Undang-udang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menyatakan bahwa, “Perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, kemudian Pasal 7 huruf c dan d mengatur lebih lanjut “Untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pemerintah dan pemerintah daerah wajib:
Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.[16]
Pembuatan surat keterangan waris oleh instansi yang berbeda-beda merupakan salah satu konsekuensi akibat masih berlakunya pluralisme sistem hukum waris dan terdapatnya perbedaan kebutuhan keperdataan masing-masing “golongan penduduk”. [17]
Dari perspektif tujuan hukum, maka politik hukum dan sistem hukum waris yang diberlakukan berdasarkan golongan tersebut, tidak dapat dikatakan telah memberikan keadilan hukum, khususnya bagi golongan bumiputra/Warga Negara Indonesia Penduduk Asli, untuk memperoleh Surat Keterangan Waris yang memenuhi hukum pembuktian.
Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki adanya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaiman dituangkan dalam XA tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 28D Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Demikian pula dari persepektif wewenang atas pembuatan surat keterangan waris oleh beberapa pejabat dan/instansi, dasar wewenang yang dimiliki dianggap lemah atau bahkan dianggap tidak memiliki dasar. Lemah karena wewenang yang secara prinsip haruslah bersumber pada peraturan perundang-undangan dianggap tidak lagi sesuai dengan politik hukum, kesadaran hukum tidak lagi dianggap sesuai dengan tata nilai dan filsafat hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia. Sehingga pemberlakuan Pasal 14 ayat 1 dan 3 Grootboeken der Nationale Schuld sebagai suatu kebiasaan sudah tidak dapat diterima lagi.
Asas konkordansi sudah tidak dapat diterapkan lagi sejak Indonesia merdeka. Lepas dari seumber hukum dan asas hukum konkordansi tersebut, hukum harus pula didukung oleh politik hukum dan kesadaran hukum sesuai dengan tata nilai dan filsafat hukum dari negara yang bersangkutan. Tetap mendasarkan pada asas “konkordansi”, ketentuan Pasal 14 ayat 1 dan 3 Grootboeken der Nationale Schuld sebagai kebiasaan sudah tidak tepat lagi. [18]
B. Pembuatan Surat Keterangan Waris berdasarkan Golongan Penduduk menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik
Diskriminasi, khususnya diskriminasi etnis telah dikenal sejak zaman kolonial, yakni sejak diberlakukannya berbagai produk kebijakan yang bersifat diskriminatif, seperti diberlakukannya S. 1849:25 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Eropa, S. 1917:130 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Timur Tionghoa, S. 1920:175 jo. S. 1927:564 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Indonesia Asli beragama Kristen, dan lain-lain jo. Pemberlakuan Pasal 163 IS, tidak terkecuali dalam pembuatan Surat Keterangan Waris.Ketentuan tersebut diberlakukan atas dasar politik hukum “devide et impera”/”politik memecah belah”, antara golongan pribumi dan golongan timur asing Tionghoa. [19]
Diskriminasi, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008, diskriminasi adalah adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 mengenal dua macam diskriminasi, yakni diskriminasi Ras dan diskriminasi etnik. Ras menurut Pasal 1 angka 2 undang-undang Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan, definisi ini tidak jauh berbeda dengan Ras menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang diartikan sebagai golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa.[20]
Etnis sebagai sebuah istilah memiliki arti yang lebih luas, karena etnis juga dapat digolongkan berdasarkan ras. Hal ini dikemukakan oleh T,K. Oommen, menurutnya terdapat beragam atribut yang mencirikan kelompok etnis, yaitu: agama, sekte, kasta, daerah, bahasa, nasionalisme, keturunan, ras, warna kulit dan kebudayaan.[21] Sedangkan Etnis menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.
Kedua istilah tersebut cukup erat korelasinya dengan fenomena penggolongan penduduk yang telah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda sebagaimana dijelaskan di sub bab sebelumnya, Hesti di dalam bukunya “Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM Studi Tentang Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa”, menegaskan bahwa bentuk penggolongan penduduk tersebut merupakan bentuk diskriminasi rasial.[22]
Hal ini bertentangan dengan Pasal 4 Bab III tentang Tindakan Diskriminatif, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminatif Ras dan Etnis, yaitu:
- a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya;
Di dalam praktek memperlakukan berbeda bagi golongan penduduk tertentu dalam pembuatan surat keterangan waris mengacu pada Pasal 163 IS, sesungguhnya merupakan tindakan yang mengakibatkan pengurangan pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Terdapat hak asasi bagi seluruh penduduk Indonesia untuk memperoleh alat bukti yang sempurna dalam hukum perdata khususnya dalam hal ini alat bukti atas hak waris yang dimilikinya, tidak terkecuali bagi golongan pribumi dan golongan timur asing selain Tiong Hoa, yang selama ini dibuat dibawah tangan atau dibuat oleh pejabat/instansi yang tidak tepat untuk itu.
Diskriminasi merupakan tindakan yang menjadi permasalahan hukum dan Hak Asasi Manusia, HAM sebagai nilai dan/atau norma menjamin dan mengakui bahwa setiap orang berhak menikmati hak-hak dan kebebasan dasar yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia.[23] Pasal 2 ayat 1 Bab II Asas Dan Tujuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 menegaskan bahwa Penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Pemberlakuan asas persamaan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis tersebut sejalan dengan Pasal 3 dan Pasal 26 International Convenant on civil and Political Rights (ICCPR).
Diskriminasi rasial dalam pembuatan surat keterangan waris, bertentangan dengan semangat pembangunan negara demokrasi (nation building), bahwa dengan adanya penggolongan penduduk khususnya dalam pembuatan surat keterangan waris, terjadi sebuah tindakan dan/atau kebijakan yang bertentangan dengan hukum yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis berupa tindakan pembedaan dan/atau pembatasan bagi golongan-golongan tertentu untuk memperoleh kebebasan dasar dan/atau pelaksanaan hak asasi manusia berupa kebutuhannya untuk memperoleh alat bukti otentik yang menerangkan dirinya sebagai pihak yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan untuknya dan pula bertentangan dengan teori negara hukum yang dewasa ini, mensyaratkan adanya beberapa prinsip, sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie yang pada prinsipnya adalah untuk memberikan jaminan perlindungan hak bagi setiap individu atas kebebasan, anti diskriminasi dan kesetaraan, khususnya Persamaan dalam hukum (Equality before the law); penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (Due Process of law); Perlindungan Hak Asasi Manusia.[24]
Notaris sebagai sebuah jabatan profesional, sangat mungkin melakukan kesalahan dalam menjalankan jabatan (beroesfout), yang disebabkan oleh kekurangan pengetahuan (onvoldoende kennis), kurang pengalaman (onvoldoende ervaring), atau disebabkan oleh kurang pengertian (onvoldoende inzicht). Kesalahan yang disebabkan oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya dapat menyebabkan kerugian bagi klien karena akta kekuatan pembuktianya terdegradasi menjadi akta di bawah tangan, atau akta menjadi batal demi hukum, sehingga karena kesalahannya tersebut, seorang Notaris dapat dituntut di muka pengadilan baik karena wanprestasi (ingkar janji) dan/atau karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad). Sehingga atas kesalahan yang dilakukan oleh Notaris, ia sebagai pejabat umum wajib bertanggung jawab dan/atau bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukannya.
Notaris wajib mengetahui hal-hal yang tidak dikehendaki oleh hukum, atau akta harus dibuat berdasarkan aturan hukum yang berlaku, tidak terkecuali dengan pemberlakuan hukum yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa akta notariil tetap memiliki kekuatan pembuktian di bawah tangan sejauh akta ditandatangani dan substansi akta tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan khususnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis jo. Pasal 1337 KUH Perdata, “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Sedangkan apabila substansi akta notariil bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan khususnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis jo. Pasal 1337 KUH Perdata, maka dapat dikatakan terdapat cacat hukum di dalamnya, yang dengan penetapan pengadilan dapat dinyatakan batal demi hukum.
Pasal 6 Undang-udang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menyatakan bahwa, “Perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, kemudian Pasal 7 huruf c dan d mengatur lebih lanjut “Untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pemerintah dan pemerintah daerah wajib:
- c. mendukung dan mendorong upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dan menjamin aparatur negara dan lembaga-lembaga pemerintahan bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- d. melakukan tindakan yang efektif guna memperbarui, mengubah, mencabut, atau membatalkan peraturan perundang-undangan yang mengandung diskriminasi ras dan etnis.
Sedangkan jika dianalisis melalui persepektif Pasal 1320 KUH Perdata, yang menetapkan empat unsur sebagai syarat sahnya perjanjian, yakni kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak, kecakapan bertindak, adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenskomst) dan adanya causa yang halal (geoorloofde Oorzaak) maka pembuatan Surat keterangan waris yang didasarkan Pasal 111 ayat 1 huruf c angka 4 PMNA/Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, merupakan perbuatan hukum yang didalamnya terdapat hubungan hukum perdata antara klien dan Notaris/Balai Harta Peninggalan, sehingga oleh karenanya dalam hubungan hukum perdata tersebut, baik Notaris/Balai Harta Peninggalan maupun Klien harus memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, baik unsur subjektif maupun unsur objektif.
Dalam perspektif pembuatan Surat keterangan waris maka seharusnya diantara kedua belah pihak yakni Klien dan Notaris/Balai Harta Peninggalan sepakat untuk membuat surat keterangan waris, dan keduanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum, sebagai syarat subjektif, disamping adanya prestasi berupa berbuat sesuatu dan causa yang halal sebagai unsur objektif.
Causa yang halal sebagai unsur objektif mensyaratkan perjanjian tersebut dibuat berdasarkan ketentuan perundangan-undangan/dibuat secara tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Berdasarkan persepektif Pasal 1320 KUH Perdata, khususnya berkaitan dengan causa yang halal sebagai syarat objektif, maka sesungguhnya perjanjian pembuatan Surat keterangan waris yang didasarkan pada Pasal 111 ayat 1 huruf c angka 4 PMNA/Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 batal demi hukum, karena bertentangan dengan Pasal 4 huruf a Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Pengahapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
C. Pejabat yang Berwenang Membuat Surat Keterangan Waris bagi Seluruh Warga Negara Indonesia
Pada sub bab 3.1 penulis telah menjabarkan secara singkat sejarah politik hukum dan pemberlakuan sistem hukum waris yang berbeda bagi tiap-tiap golongan penduduk. Berdasarkan sejarah tersebut dapat dipahami mengapa pembuatan surat keterangan waris dibuat oleh beberapa pejabat/instansi yang berbeda. Namun pemberlakukan politik hukum tersebut tidak lah benar. Hal ini dapat dipahami dari beberapa argumen sebagai berikut:- a. Pembuatan surat keterangan waris oleh kepala pemerintah setempat (regent).
Lurah /kepala desa tunduk pada kaedah-kaedah dan berada dalam ruang lingkup hukum administrasi sebagai badan/pejabat tata usaha negara tidak tepat jika bukti ahli waris yang berada di ruang lingkup hukum perdata harus disaksikan/diketahui dan dibenarkan serta ditandatangani oleh badan atau pejabat tata usaha negara.[25]
Namun karena tidak ada satupun pejabat yang merasa berwenang untuk membuat Surat Keterangan Waris, maka ahli waris melibatkan pejabat tata usaha negara tersebut sebagai saksi yang mengetahui atau menguatkan atas keterangan waris yang dibutuhkannya. Hal tersebut disampaikan oleh Herlien Budiono dengan merujuk pada pendapat Habib Adjie dalam bukunya “Pembuktian sebagai Ahli Waris dengan Akta Otentik”, sehingga dengan demikian dapat dipandang dari perspektif teori kewenangan bahwa sesungguhnya Pejabat Negara tersebut (camat, lurah dan kepala desa), dianggap tidak berwenang untuk mengetahui, menguatkan, mensaksikan dan/atau menandatangani surat keterangan waris tersebut. [26] Namun pembuatan surat keterangan waris bagi golongan bumi putra tersebut telah menjadi sebuah kebiasaan sebagai dampak dari adanya pluralisme golongan penduduk dan pembedaan pemberlakuan sistem hukum waris yang diberlakukannya sejak zaman kolonial Belanda.
- b. Pembuatan Surat Keterangan Waris bagi Golongan Timur selain Tionghoa oleh Balai Harta Peninggalan (Weeskamer)
Balai Harta Peninggalan merupakan suatu lembaga negara yang secara struktur berada di bawah naungan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
“Sesuai Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI tanggal 1 Maret 2005 Nomor M-01.PR.07.10 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, BHP merupakan Unit Pelaksana Teknis berada di Lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dibawah Divisi Pelayanan Hukum dan HAM, Namun secara teknis bertanggung jawab langsung pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum melalui Direktorat Perdata.[27]Terdapat perbedaan produk yang dihasilkan oleh pejabat tata usaha negara yang tunduk pada hukum administrasi negara dengan produk hukum berupa Surat Keterangan Waris sebagai alat bukti hukum perdata. Secara prinsip produk yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara adalah produk yang berupa penetapan tertulis yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, dan atas segketa yang timbul atas produk tersebut diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara.[28]
Sedangkan Surat Keterangan Waris sebagai alat bukti hukum perdata tidak diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara melainkan diperiksa di Pengadilan Negeri, “Bukti ahli waris yang merupakan bukti perdata tidak tepat jika dikeluarkan oleh pejabat yang tunduk pada hukum administrasi. [29]
- c. Pembuatan Surat Keterangan Waris bagi Golongan Timur Asing Tionghoa oleh Notaris.
Namun dalam perkembanganya dengan asas konkordansi diberlakukan/diakui sebagai hukum yang berlaku di Indonesia seiring dengan diberlakukannya Notariswet 1999, khususnya Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa:
“Mengemban jabatan notaris berarti memiliki kewenangan untuk pembuatan akta otentik dalam hal undang-undang memerintahkan hal itu kepadanya atau sebagaimana dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik dan melakukan pekerjan-pekerjaan lain sebagaimana diperintahkan undang-undang”. [31]Lebih lanjut berdasarkan kewenangan umum tersebut dalam Pasal 47 ayat 1 dan 3 Notarisweet diatur kewenangan membuat surat keterangan waris dalam bentuk di bawah tangan,
(1). “Keterangan Hak Waris dapat dibuat di bawah tangan. Ketentuan-ketentuan Pasal-pasal 20, 40 ayat 1, 42 dan Pasal 45 (mutatis mutadis) berlaku.”
(3). “Keterangan sebagaimana dimaksud ayat-ayat sebelumnya berkenaan dengan kekuatan pembuktian lahiriah dan kekuatan pembuktian dari tindakan-tindakan yang terkait dengan keterangan tersebut serta pencatatan yang dilakukan oleh Notaris, akan dianggap sebagai akta otentik, terkecuali terbukti tiadanya otensitas tersebut berdasarkan salah satu dari ketentuan-ketentuan yang disebutkan di dalam ayat-ayat sebelumnya. Notaris wajib menyimpan satu ekslempar dari keterangan tersebut di dalam protokolnya.”[32]
Di dalam prakteknya berdasarkan ketentuan tersebut para Notaris di Nederland juga membuat Surat Keterangan Waris dalam bentuk akta otentik, hal ini didukung oleh ahli hukum L.C.Q. Verstappen, yang mempertanyakan mengapa tidak sejak dulu Surat Keterangan Waris dibuat dalam bentuk otentik, hingga kemudian disebut “Akta Keterangan Waris” yang tidak diragukan kekuatan pembuktiannya. [33]
Di dalam perkembangannya kewenangan umum Notaris diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dan berkaitan dengan pembuatan Surat Keterangan Waris Notaris tidak lagi mendasarkan pembuatannya pada Ketentuan Pasal 14 ayat 1 dan 3 Grootboeken der Nationale, melainkan didasarkan pada Pasal 111 ayat 1 huruf c angka 4 Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Namun walau demikian dasar hukum yang digunakan sebagai dasar pembuatan surat keterangan waris tersebut, dalam padangan Herlien Budiono dianggap tidak tepat, mengingat dasar hukum tersebut sebagai produk keputusan Menteri Negara bukanlah Menteri yang memegang suatu departemen, dan sesungguhnya keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Koordinator dan Menteri Negara merupakan keputusan yang hanya berlaku secara intern, dan tidak mengikat umum, sehingga karenanya pula tidak dapat menjadi dasar hukum pembuatan Surat Keterangan Waris oleh Notaris. [34]
Sehingga karenanya pembuatan surat keterangan waris oleh Notaris cukup didasarkan pembuatannya pada ketentuan Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris:
Di dalam perkembangannya kewenangan umum Notaris diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dan berkaitan dengan pembuatan Surat Keterangan Waris Notaris tidak lagi mendasarkan pembuatannya pada Ketentuan Pasal 14 ayat 1 dan 3 Grootboeken der Nationale, melainkan didasarkan pada Pasal 111 ayat 1 huruf c angka 4 Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Namun walau demikian dasar hukum yang digunakan sebagai dasar pembuatan surat keterangan waris tersebut, dalam padangan Herlien Budiono dianggap tidak tepat, mengingat dasar hukum tersebut sebagai produk keputusan Menteri Negara bukanlah Menteri yang memegang suatu departemen, dan sesungguhnya keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Koordinator dan Menteri Negara merupakan keputusan yang hanya berlaku secara intern, dan tidak mengikat umum, sehingga karenanya pula tidak dapat menjadi dasar hukum pembuatan Surat Keterangan Waris oleh Notaris. [34]
Sehingga karenanya pembuatan surat keterangan waris oleh Notaris cukup didasarkan pembuatannya pada ketentuan Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris:
“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”Dasar hukum tersebut dapat dijadikan dasar pembuatan “akta keterangan waris” oleh Notaris tidak saja bagi mereka yang tunduk pada hukum waris KUHPerdata namun juga bagi mereka yang tunduk pada hukum waris lain.
“Atas dasar ketentuan pasal 15 ayat 1, Notaris berwenang untuk membuat KHW dalam bentuk akta otentik tidak saja bagi mereka yang tunduk pada KUHPerdata, tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia.” [35]Sehingga atas dasar hukum tersebut Notaris dapat menciptakan pula bentuk akta keterangan waris/Akta Keterangan Hak Mewaris yang uniform/seragam diberlakukan bagi seluruh bangsa Indonesia yang membutuhkannya tanpa lagi didasarkan pada dasar hukum Belanda dengan prinsip pembedaan atau penggolongan penduduk yang bersifat diskriminatif, yang karenanya bertentangan dengan Pasal 4 huruf a Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Pengahapusan Diskriminasi Ras dan Etnis jo. Pasal 28I ayat 2 Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan atas rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa:- 1. Terdapat pengaruh politik hukum dalam pembuatan surat keterangan waris yang diberlakukan sebagai politik devide et impera/becah belah sebelum negara Republik Indonesia merdeka, yakni didasarkan pada pemberlakuan Pasal 163 IS jo. 131 IS. Pembuatan surat keterangan waris oleh beberapa pejabat dan/instansi, dasar wewenang yang dimiliki dianggap lemah atau bahkan dianggap tidak memiliki dasar. Lemah karena wewenang yang secara prinsip haruslah bersumber pada peraturan perundang-undangan dianggap tidak lagi sesuai dengan politik hukum, kesadaran hukum tidak lagi dianggap sesuai dengan tata nilai dan filsafat hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia. Sehingga pemberlakuan Pasal 14 ayat 1 dan 3 Grootboeken der Nationale Schuld sebagai suatu kebiasaan sudah tidak dapat diterima lagi.Politik hukum tersebut dengan asas konkordansi tetap bertahan hingga Indonesia merdeka, walau sesungguhnya telah bertentangan dengan semangat persatuan Indonesia.
- 2. Berdasarkan pendekatan perundang-undangan (statue approach) pembuatan Surat keterangan waris yang didasarkan pada penggolongan penduduk tersebut masih lemah (Pasal 111 huruf C angka 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Negara Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997), bertentangan dengan Pasal 4 huruf a Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Pengahapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, namun dapat dibuat oleh Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
- 3. Pejabat yang paling berwenang untuk membuat surat keterangan waris adalah Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang- undang lainnya, didasarkan pada ketentuan Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dan tidak tepat jika Surat keterangan waris sebagai alat bukti dalam hukum perdata disaksikan/diketahui, dibenarkan dan ditandatangani oleh badan atau pejabat tata usaha negara (BHP/Lurah/Kepala Desa/Camat) yang tunduk pada hukum administrasi.
Footnote:
- [1] A. Kohar, Notaris Berkomunikasi, Penerbit Alumni, Bandung, 2000, hlm. 7
- [2] Habib Adjie, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris (Dalam Bentuk Akta Keterangan Ahli Waris), Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 5.
- [3] Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm. 84.
- [4] Ibid. hlm. 80.
- [5] Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 112.
- [6] Abdul Latif, Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 25.
- [7] Ibid., hlm. 20-21.
- [8] Ibid., hlm. 21.
- [9] Ibid.
- [10] Ibid., hlm. 23-24.
- [11] Ibid., hlm. 25-29.
- [12] Ibid., hlm. 30-44.
- [13] Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 3-4. - [14] Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku
Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm. 93. - [15] Ibid.
- [16] Ibid., hlm. 88.
- [17] Ibid.
- [18] Ibid., hlm. 98.
- [19] Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM Studi Tentang Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa, Genta, Yogyakarta, 2013, hlm. 123.
- [20] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hlm. 1145.
- [21] Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Op.cit., hlm. 62.
- [22] Ibid., hlm. 122.
- [23] Ibid., hlm. 37.
- [24] Ibid., hlm. viii-ix.
- [25] Herlien Budiono, Op.cit., hlm. 91.
- [26] Ibid.
- [27] Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM DKI Jakarta http://bhpjakarta.info/index.php?option=com_content&view=category&id=42&Itemid=55, diakses 22 Nopember 2014 pukul 11.47 WIB.
- [28] Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan yang Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN
- [29] Ibid., hlm. 95.
- [30] Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, Mandur Maju, Bandung, 2009,hlm. 21.
- [31] Herlien Budiono, Op.cit., hlm. 96.
- [32] Ibid.
- [33] Ibid., hlm. 97.
- [34] Ibid., hlm. 98-99.
- [35] Herlien Budiono, Op.cit., hlm. 100.
DAFTAR PUSTAKA
- C.S.T. Kansil, Christine S.T, Kansil, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
- Darjo Darmodihardjo, Shidarta, 2002 Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
- Habib Adjie, 2011, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung.
- ___________, 2013, Balai Harta Peninggalan, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta.
- ___________, 2008, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris (Dalam Bentuk Akta Keterangan Ahli Waris), Mandar Maju, Bandung.
- ___________, 2009, Sanksi Perdata Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung.
- Herlien Budiono, 2013, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung.
- Hesti Armiwulan Sochmawardiah, 2013, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM Studi tentang Diskriminasi Terhadao Etnis Tionghoa, Genta Publishing, Yogyakarta.
- Husni Thamrin, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBang PRESSindo,Yogyakarta.
- Idris Ramulyo, 2004, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
- Kohar, 2000, Notaris Berkomunikasi, Penerbit Alumni, Bandung.
- Marwan Mas, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor.
- Muhammad Tahir Azhary, 2004, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dab Masa Kini, Prenada Media, Jakarta.
- Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Banyumedia Publishing, Malang.
- Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Group, Jakarta.
- ____________________, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.
- Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
- Satjipto Rahardjo, 1979, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung.
- Soehino, 2008, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta.
- Teguh Prasetyo, Abdul Halim Bakatullah, 2013, Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Rajagrafindo Persada, Depok.
- Titik Triwulan Tutik, ___, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana Prenanda Media Group, Jakarta.