Tanah

[Tanah][bsummary]

Notaris

[Notaris][bigposts]

Lumajang

[Lumajang][twocolumns]

TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK MENURUT UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

Notaris Lumajang Call Center 081338999229
wilayah kerja klakah, jatiroto, ranuyoso, yosowilangun, sumbersuko, sukodono, pasirian, randuagung, kunir, tekung, rowokangkung, padang, kedungjajang, gucialit, pronojiwo, candipuro, tempeh, pasrujambe, tempursari, senduro,

Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris    

Dalam melaksanakan tugas jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh kepada Undang-Undang Jabatan Notaris (UU Perubahan atas  UUJN) dan Kode Etik Notaris, karena tanpa itu harkat dan martabat profesionalisme seorang Notaris akan hilang sama sekali. Sejak tahun 1987 oleh Departemen Kehakiman sekarang Departemen Hukum dan HAM diisyaratkan, bahwa seseorang untuk dapat diangkat sebagai  Notaris selain harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 UU Perubahan atas UUJN harus dapat membuktikan pula bahwa ia  telah lulus ujian kode etik yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) berdasarkan wewenang yang  diberikan oleh Departemen Hukum dan HAM kepada INI. Khusus bagi para Notaris tentang etika telah diatur  dalam UU Perubahan atas UUJN, namun untuk mengetahui ketentuan mana yang ada dalam UU Perubahan atas UUJN yang termasuk dalam ruang lingkup kode etik kiranya perlu ada penafsiran tersebut, agar dapat diketahui  dengan jelas hukuman-hukuman dalam arti teknis dari KUHP yang merupakan hukuman pidana dan merupakan displinair dari ketentuan Pasal 84 dan Pasal 85 dari UU Perubahan atas UUJN.

Apabila Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan kewenangannya membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan  ketetapan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka Notaris sebagai pejabat umum tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban dari segi hukum atas akta yang dibuatnya tersebut. Namun apabila dikaitkan  dengan ketentuan Pasal 84 UUJN, akta yang dibuat oleh Notaris tersebut tidak mempunyai kekuatan notariil sebagai akta otentik, melainkan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah   tangan, apabila akta tersebut tidak atau  kurang  syarat  subyektifnya diantaranya  pihak-pihak  atau  para  penghadap tidak cakap bertindak dalam hukum, sedangkan akta   menjadi   batal   demi   hukum   jika akta tersebut dibuat tidak memenuhi syarat obyektif, misalnya tidak ada obyek yang diperjanjikan atau akta tersebut dibuat bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan.  Pada kondisi yang demikian ini, Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban dari segi hukum. Mengenai pertanggungjawaban Notaris dari segi hukum tidak lepas dari pertanggungjawaban dari segi hukum pidana, perdata maupun Hukum Administrasi. Hal ini sejalan dengan asas yang berlaku bahwa siapa saja yang dirugikan berhak melakukan tuntutan atau gugatan. Gugatan terhadap Notaris dapat terjadi jika terbitnya akta Notaris tidak sesuai dengan prosedur sehingga menimbulkan kerugian. Pada pihak lain, jika suatu akta sampai dibatalkan, maka Notaris yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan menurut Hukum administrasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana. 

Tanggung Jawab Dari Segi Hukum Administrasi

Notaris adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan dalam pembuatan akta tersebut, untuk itu  jika terjadi baik karena disengaja maupun kelalaiannya Notaris melakukan kesalahan, maka dapat   dimintakan tanggung jawab baik dari segi hukum pidana, perdata maupun administratisi. Mengenai sanksi Hukum Administrasi berupa teguran lisan, tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam keadaan bagaimana Notaris diberikan sanksi dengan kualifikasikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Sanksi Hukum Administrasi terhadap Notaris karena kesalahannya yang membuat akta otentik menurut Pasal 85 UUJN dapat dikenai sanksi berupa: Teguran lisan, Teguran tertulis, Pemberhentian sementara, Pemberhentian dengan hormat:, Pemberhentian dengan tidak hormat.

Tanggung Jawab Dari Segi Hukum Perdata

Akta yang dibuat oleh Notaris berkaitan dengan masalah keperdataan yaitu mengenai perikatan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih meskipun memungkinkan dibuat secara sepihak (sifatnya hanya menguatkan). Sifat dan asas yang dianut oleh hukum perikatan khususnya perikatan yang lahir karena perjanjian, bahwa undang-undang hanya mungkin dan boleh diubah atau diganti atau dinyatakan tidak berlaku, hanya oleh mereka yang membuatnya, maksudnya kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam suatu akta otentik mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.

Pasal 84 UUJNmenetapkan bahwa "dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk  menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris". Dalam hal ini, Notaris sebagai  pejabat pembuat akta otentik, jika terjadi kesalahan baik disengaja maupun karena kelalaiannya  mengakibatkan orang lain (akibat dibuatnya akta) menderita kerugian, yang berarti Notaris telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 84 UUJN, bahwa tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam  beberapa pasal, maka jika salah satu pasal tersebut dilanggar berarti terjadi perbuatan melanggar  hukum, sehingga unsur harus ada perbuatan melanggar hukum sudah terpenuhi.

Tanggung Jawab Dari Segi Hukum Pidana

Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya tidak diatur dalam UU Perubahan atas UUJN namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan apabila Notaris melakukan perbuatan pidana. Notaris bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak [1]. Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris sendiri [2]. UU Perubahan atas UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap UU Perubahan atas UUJN sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan. Demi tegaknya hukum Notaris harus tunduk pada ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam KUHP, dan terhadap pelaksanaannya mengingat Notaris melakukan perbuatan dalam kapasitas jabatannya untuk membedakan dengan perbuatan Notaris sebagai subyek  hukum orang Pasal 50 KUHP memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris yang menyebutkan bahwa : “barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh dihukum”.[3] Pengertian penerapan Pasal 50 KUHP terhadap Notaris tidaklah semata-mata melindungi Notaris untuk membebaskan adanya perbuatan pidana yang dilakukannya tetapi mengingat Notaris mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam UU Perubahan atas UUJN apakah perbuatan yang telah dilakukannya pada saat membuat akta Notaris sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.[4]

Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Aspek tersebut sangat berkaitan erat dengan perbuatan Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya disamping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UU Perubahan atas UUJN dan kode etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. Apabila tindakan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata berdasarkan UU Perubahan atas UUJN suatu pelanggaran. Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UU Perubahan atas UUJN dan kode etik jabatan Notaris.

TANGGUNG JAWAB PIDANA OLEH NOTARIS APABILA MUNCUL KERUGIAN TERHADAP SALAH SATU PIHAK SEBAGAI AKIBAT ADANYA DOKUMEN PALSU

Unsur-unsur Perbuatan Pidana terhadap Pemalsuan Akta Otentik

Berdasarkan Perumusan unsur-unsur pidana dari bunyi pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan akta otentik yang dilakukan oleh Notaris tidak bisa diterapkan kepada pelaku yakni Notaris yang memalsu akta otentik. Akan tetapi Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi dari pasal 264 KUHP, sebab pasal 264 KUHP merupakan Pemalsuan surat yang diperberat dikarenakan obyek pemalsuan ini mengandung nilai kepercayaan yang tinggi. Sehingga semua unsur yang membedakan antara pasal 263 dengan pasal 264 KUHP hanya terletak pada adanya obyek pemalsuan yaitu “Macam surat dan surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya”.[5]

Nyatalah bahwa yang menyebabkan diperberatnya pemalsuan surat pasal 264 diatas terletak pada faktor macam-macamnya surat.[6] Di ruang lingkup Notaris kita mengenal adagium bahwa “Setiap orang yang datang menghadap Notaris telah benar berkata. Sehingga benar berkata berbanding lurus dengan berkata benar”. Jika benar berkata, tidak berbanding lurus dengan berkata benar yang artinya suatu kebohongan atau memberikan keterangan palsu, maka hal itu menjadi tanggungjawab yang bersangkutan. Jika hal seperti itu terjadi, maka seringkali Notaris dilaporkan kepada pihak yang berwajib dalam hal ini adalah Aparat Kepolisian. Dalam pemeriksaan Notaris dicercar dengan berbagai pertanyaan yang intinya Notaris digiring sebagai pihak yang membuat keterangan palsu.[7]
Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana  tersebut diatas dilanggar, artinya disamping memenuhirumusan pelanggaran yang disebutkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UU Perubahan atas UUJN) dan Kode Etik profesi Jabatan Notaris  yang  juga harus memenuhi rumusan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pertanggungjawaban Pidana oleh Notaris Apabila Muncul Kerugian Dari Salah Satu Pihak Akibat Adanya Dokumen Palsu

Terjadinya suatu pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 15 dan 16 UU Perubahan atas UUJN oleh Notaris di dalam menjalankan jabatannya sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya perbuatan pemalsuan atas akta yang dibuat dihadapan oleh para pihak (penghadap). Akan tetapi perbuatan Notaris tersebut sangat sulit untuk membuktikannya. Hal ini mengingat bahwa di dalam akta Notaris selalu disebutkan pada awal akta bahwa penghadap menghadap pada Notaris dan pada akhir akta selalu disebutkan bahwa akta tersebut dibacakan oleh Notaris kepada para penghadap dan saksi dihadapan Notaris. Namun dalam kenyataannya baik pembacaan dan penandatanganan tidak pernah dilakukan dihadapan Notaris sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU Perubahan atas UUJN, maka Notaris dianggap telah melakukan pelanggaran membuat akta palsu sebagaimana dimaksud Pasal 263 juncto Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP. Akan tetapi untuk menyatakan tentang adanya kebenaran Notaris melakukan perbuatan tersebut tentu harus melalui proses pembuktian yang dalam sistem pembuktian acara pidana disebut dengan sistem negatif yaitu suatu sistem pembuktian dengan mencari kebenaran materiil yaitu seorang hakim dalam suatu sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan harus memenuhi dua syarat mutlak meliputi adanya alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim.[8]

Notaris yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan profesinya wajib mempertanggung jawabkan perbuatan yang dilakukannya tersebut. Besarnya tanggung jawab Notaris dalam menjalankan profesinya mengharuskan Notaris untuk selalu cermat dan hati-hati dalam setiap tindakannya. Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapat merugikan pihak lain. Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi yaitu perbuatan Notaris harus memenuhi rumusan perbuatan itu dilarang oleh undang-undang, adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan Notaris tersebut serta perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, baik formil maupun materiil. Secara formal disini sudah dipenuhi karena sudah memenuhi rumusan dalam undang-undang, tetapi secara materiil harus diuji kembali dengan kode etik, UU Perubahan atas UUJN.

Akibat Hukum Terhadap Adanya Dokumen Palsu Dalam Pembuatan Akta Otentik

Akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris secara melawan hukum sehingga menyebabkan akta otentik menjadi akta dibawah tangan serta akta tersebut dapat dibatalkan telah sejalan dengan teori kewenangan dan konsep perlindungan hukum. Seperti dikemukakan dalam teori kewenangan, Notaris dalam membuat akta otentik tennasuk dalam kewenangan secara atribusi,  berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN. Terjadinya suatu akibat hukum  yaitu berupa akta otentik menjadi akta dibawah tangan dan akta tersebut dibatalkan diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Notaris, dimana Notaris dalam menjalakan wewenangnya telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian bagi para pihak dan mengakibatkan berubahnya kekuatan pembuktian  akta  dan  adanya  pembatalan  akta otentik tersebut oleh pengadilan.

Kesimpulan

  1. Adapun tanggung jawab Notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta Notaris menurut UUJN dan UU Perubahan atas UUJN adalah ketika Notaris dalam menjalankan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris bertanggung jawab sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya baik tanggung jawab dari segi Hukum Administrasi, Hukum Perdata, yaitu sesuai ketentuan sanksi yang tercantum dalam Pasal 84 dan 85 UU Perubahan atas UUJN dan kode etik, namun di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan perbuatan Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan.
  2. Notaris tidak dapat diminta pertanggungjawabannya pidana apabila muncul kerugian trhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak. Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris sendiri. Oleh karena itu demi tegaknya hukum Notaris harus tunduk pada ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam KUHP, dan terhadap pelaksanaannya mengingat Notaris melakukan perbuatan dalam kapasitas jabatannya untuk membedakan dengan perbuatan Notaris sebagai subyek hukum orang Pasal 50 KUHP memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris Pengertian penerapan Pasal 50 KUHP terhadap Notaris tidaklah semata-mata melindungi Notaris untuk membebaskan adanya perbuatan pidana yang dilakukannya tetapi mengingat Notaris mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN apakah perbuatan yang telah dilakukannya pada saat membuat akta Notaris sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Saran-Saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan di atas terhadap pertanggungjawaban Notaris dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak adalah sebagai berikut :
  1. Agar pemerintah selaku lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif merekontruksi kcmbali pengaturan dalam UUJN juncto UU Perubahan atas UUJN mengenai tidak adanya komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang Notaris, karena pengaturan komulasi atau penggabungan penerapan sanksi ini tentunya akan lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang dirugikan termasuk Notaris itu sendiri. Dan perlu disempurnakan kembali UU Perubahan atas UUJN untuk mempertegas tindakan-tindakan yang dilarang oleh Notaris dalam melaksanakan tugasnya, termasuk ketentuan-ketentuan dalam pembuatan akta baik bagi Notaris dan para pihak yang ingin membuat akta, baik dalam perspektif tindakannya yang berkaitan dengan Hukum Administrasi, Hukum Perdata, maupun Hukum Pidana.
  2. Agar Notaris yang melaksanakan tugas mulia membantu masyarakat menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapinya untuk selalu bertindak cermat, hati-hati, dan belajar meningkatkan pengetahuannya untuk mendalami mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan baik selama menjalankan jabatannya sebagai notaris, sehingga dapat seminimal mungkin terjadinya perbuatan atau akta yang dilahirkan dipersengketakan oleh para pihak yang berkepentingan;


FOOTNOTE :
  • [1] Andi Mamminanga, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Daerah dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN, Tesis yang ditulis pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2008, hal. 32.
  • [2] Notodisoerjo, Hukum Notarial di Indonesia (suatu penjelasan), Rajawali Pers, Jakarta, 1982, hal. 229. 
  • [3] R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1993, hal. 66. 
  • [4] Leden Marpaung, Op.Cit., hal. 67.
  • [5] Adamichazawi, Op.Cit. hal. 107.
  • [6] Adamichazawi, Op.Cit, hal. 108.
  • [7] HabiebAdjie,http://google.co.id,Notaris Indonesia Majelis Pengawas Sebagai Pelapor Tindak Pidana, diambil tanggal 28.03.12.
  • [8] Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 2.