Notaris Lumajang: "HAK INGKAR NOTARIS SEBAGAI WUJUD PERLINDUNGAN HUKUM"
Notaris merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah yang diberikan kewenangan menjalankan sebagian tugas negara yaitu menerbitkan alat bukti tertulis berupa akta autentik, di mana notaris memperoleh keterangan dari para pihak yang mempercayakan segala keterangannya kepada notaris oleh karena itu jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan. Selaku pejabat umum, notaris tidak saja terikat pada peraturan jabatan tetapi juga terikat pada sumpah jabatannya dimana notaris wajib merahasiakan isi akta dan segala keterangan yang diperolehnya.
Seiring dengan perkembangan jaman, seringkali notaris dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai saksi terkait dengan akta yang dibuat dihadapannya. Berdasarkan Putusan MKRI Nomor 49/PUU-X/2012 yang menghapuskan frase dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) Wewenang MPD dalam memberikan perlindungan kepada notaris menjadi sirna.
Terkait dengan hal tersebut maka berdasarkan ketentuan Pasal 66 UUJN-P UU No. 2 Tahun 2014 dibentuklah Majelis Kehormatan Notaris (MKN),yang salah satu fungsinya memberikan jawaban menolak atau memberi persetujuan terhadap pemanggilan notaris. Jika lewat dari batas waktu yang ditentukan maka MKN dianggap menyetujui notaris tersebut untuk diperiksa. Persetujuan dari MKN ini dapat dijadikan kunci pembuka dari pengajuan Hak Ingkar.
Kata Kunci : Akta Autentik, Perlindungan Hukum, Hak Ingkar Notaris.
Demi terciptanya kehidupan yang demokratis, terlindunginya hak asasi manusia, dan juga kesejahteraan yang berkeadilan maka diperlukan membentuk suatu aturan hukum. Sejalan dengan hal tersebut Rober Leroy berpendapat bahwa law is a body of enforceable rules governing relationship among individuals and between individuals and their society [1] (Hukum adalah seperangkat aturan yang ditegakkan untuk mengatur hubungan antar indivudu dan antara individu dan masyarakat mereka). Prinsip dari Negara Hukum itu sendiri adalah menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam penegakan hukum lazimnya terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). [2]
Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum pada umumnya memerlukan alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam masyarakat.
Masyarakat membutuhkan seseorang yang keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasehat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya dihari-hari yang akan datang.[3] Dalam hal ini pejabat yang dimaksud adalah seorang notaris.
Hal ini kemudian diatur dan dipertegas dalam UUJN-P. Pada Pasal 1 angka 1 UUJN-P menegaskan bahwa notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Ketentuan Pasal 1870 dan 1871 KUHPerdata menyatakan bahwa akta autentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli waris.
Akta Notaris mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu:
- Kekuatan Pembuktian Lahiriah (uitwendige Bewijskracht).
- Kekuatan Pembuktian Formil (formele bewijskracht).
- Kekuatan Pembuktian Materil (materiele bewijskracht).
Dalam praktek guna kepentingan penyidikan atau persidangan dalam suatu perkara perdata maupun pidana seorang notaris dapat dipanggil sebagai saksi guna memberikan keterangan yang berkaitan dengan isi akta yang dibuat dihadapannya.
Pemanggilan terhadap notaris untuk memberikan kesaksian ini sendiri merupakan sikap mengingkari serta tidak menghargai kedudukan dari akta notaris sebagai alat bukti yang sempurna yang tidak memerlukan alat bukti lain. Disinilah diperlukannya suatu lembaga yang dapat memberikan perlindungan hukum terhadap jabatan notaris itu sendiri maupun terhadap isi dari akta notaris tersebut. Namun keberadaan dari lembaga ini eksistensinya berakhir akibat dari dikeluarkanlah Putusan MK No.49/UPP-X/2012, yang dalam amar putusannya menghapuskan frase “dengan persetujuan majelis pengawas daerah.”, sehingga kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, ataupun hakim berwenang mengambil fotokopi Minuta Akta dan/ atau surat-surat yang melekat pada Minuta Akta atau Protokol dalam penyimpanan notaris dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.
Konsekuensi dari dikeluarkannya Putusan MKRI adalah perlindungan dari jabatan notaris ini menjadi sirna serta memiliki dampak kerahasiaan kurang dipertimbangkan. Kenyataan dalam prakteknya kewajiban ingkar yang merupakan instrument yang sangat penting sering kali tidak dilakukan oleh notaris pada saat mereka dipanggil penyidik maupun dalam persidangan. Hal ini mengakibatkan terjadinya kebingungan dikalangan Notaris, disatu sisi harus menjaga kerahasian dari isi akta, tapi dilain sisi penyidik dengan mudah memanggil notaris untuk kepentingan penyidikan. Untuk itu diterbitkan Undang- Undang No.2 Tahun 2014 yang dalam Pasal 66A mengamanatkan pembentukan Majelis Kehormatan Notaris, yang mana lembaga ini mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
- (1) Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai tugas:
- a. Melakukan pemeriksaan terhadap permohonan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim; dan
- b. Memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permintaan persetujuan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan.
- (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai fungsi melakukan pembinaan dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi jabatannya dan memberikan perlindungan kepada Notaris terkait kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi Akta.
Ketentuan dari pasal tersebut diatas terhadap jawaban atas permintaan dari aparat penegak hukum dalam hal pemanggilan Notaris maka MKN mempunyai tugas memberikan persetujuan atau penolakan dan hal tersebut haruslah dilakukan dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan diterima. Ketika UUJN diundangkan para Notaris berharap untuk mendapatkan perlindungan yang proposional dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai jabatan kepercayaan, dalam arti ketika MKN memeriksa Notaris haruslah adil,dan transparan. Dikarenakan anggota MKN itu terdiri dari 3 unsur dengan latar belakang yang berbeda yang kemungkinan besar persepsi mereka dalam memeriksa Notaris akan berbeda. Jika setelah 30 hari MKN wilayah tidak memberikan jawabannya maka MKN dianggap menyetujuinya.
Dengan tidak adanya jawaban menyetujui ataupun tidak dari MKN hal ini mengakibatkan aparat penegak hukum dapat mengambil akta atau protokol notaris. Sebab terhadap jawaban yang diberikan MKN Wilayah baik memberikan persetujuan atau penolakan tidaklah dapat diganggu gugat (final and binding). Secara otomatis notaris dapat melanggar ketentuan Pasal 4 UUJN-P maupun Pasal 16 Ayat (1) huruf f yang pada intinya mewajiban notaris untuk merahasiakan isi akta yang dibuat dihadapannya.
Perlindungan Hukum terhadap Notaris terkait Kewajiban Merahasiakan Isi Akta
Akta adalah surat yang dibuat sedemikian rupa oleh atau dihadapan pegawai yang berwenang untuk membuatnya yang dapat dijadikan alat bukti bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai hubungan hukum. Menurut Pasal 1 angka 7 UUJN-P menyebutkan pengertian akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Sedangkan dalam pasal 1868 KUH Perdata, yang dimaksud dengan akta autentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di mana akta itu dibuat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 38 UUJN-P, syarat yang harus dimiliki agar dapat dikatakan sebagai Akta Autentik adalah sebagai berikut :
- 1. Awal Akta atau kepala Akta yang memuat :
- a. Judul Akta
- b. Nomor Akta
- c. Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
- d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris
- 2. Badan Akta yang memuat :
- a. Nama lengkap, tempat, tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
- b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
- c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
- d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
- 3. Akhir Akta atau penutup akta yang memuat :
- a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7)
- b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan Akta jika ada;
- c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
- d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penggantian serta jumlah perubahannya.
Akta autentik sebagai alat bukti yang sempurna, pembuktiannya secara yuridis dalam hukum acara berarti hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka, dan pembuktian ini bertujuan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa-peristiwa tertentu.
Menurut George Whitecross Patton, alat bukti dapat berupa “oral (words spoken by a witness in court), documentary (the production of a admissible document), material (the production of a physical res other than a document).[4] Alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan, sumpah, dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai pembuktian.
Akta autentik ini sendiri haruslah memenuhi kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materil, yaitu :
- 1. Kekuatan pembuktian lahiriah berarti kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas “acta publica probant seseipsa” yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta autentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta autentik sampai terbukti sebaliknya.[5]
- 2. Kekuatan Pembuktian Formil, artinya dari akta autentik itu dibuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta yang menjamin kebenaran dan kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, tanda tangan para pihak, Notaris dan saksi dan tempat akta dibuat.
- 3. Kekuatan Pembuktian Materiil, merupakan kepastian tentang materi suatu akta.
Notaris mempunyai kewajiban untuk membuat alat bukti berupa akta autentik yang mana akta autentik ini adalah berisikan keinginan para pihak yang menghadap dihadapan notaris. Notaris hanya mengkonstatir maksud / kehendak para pihak mengenai suatu perbuatan hukum dan notaris menuangkannya dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa jabatan notaris itu sendiri adalah merupakan jabatan kepercayaan. Dan untuk melindungi kepercayaan dan kepentingan masyarakat maka notaris mempunyai kewajiban untuk merahasiakan segala perbuatan hukum yang dituangkan dalam isi akta dan segala keterangan yang diberikan kepada notaris dalam pembuatan akta tersebut.
Sebelum melaksanakan tugas dan jabatannya seorang notaris sebagai pejabat umum wajib untuk mengangkat sumpah/ janji seperti yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perbahan atas UUJN yang berbunyi :
“Saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya. bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak. bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris. bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun.”
Ketentuan mengenai kewajiban merahasiakan juga diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf f yang mengatur bahwa, “Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.”
Peraturan Perundang-undangan lainnya yang juga mengatur mengenai kewajiban merahasiakan dapat dilihat dalam ketentuan:
- 1. Pasal 170 ayat (1) KUHAP berbunyi:
Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
- 2. Pasal 1909 KUHPerdata dan Pasal 146 HIR ayat (3) berbunyi: siapa saja yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya diwajibkan undang-undang untuk merahasiakan sesuatu, namun hanya mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan dan jabatannya itu.
- 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, diubah dengan Undang-Undang No 9 Tahun 2004, diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dalam Pasal 89 ayat (1) huruf b berbunyi : setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat atau jabatannya itu.
Berangkat dari ketentuan perundang-undangan tersebut diatas dapat diartikan juga bahwa adanya suatu pengakuan terhadap jabatan notaris bahwa sesungguhnya notaris mempunyai kewajiban untuk tidak berbicara atau lebih tepatnya tidak memberikan informasi mengenai keterangan yang diperolehnya karena jabatannya kecuali kepada pihak-pihak tertentu yang diperkenankan atau diperintahkan oleh undang-undang.
Menurut Philipus M. Hadjon perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memberikan hak-hak kepada pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukannya. Ada dua macam perlindungan hukum yang dapat diberikan yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Notaris adalah pejabat umum yang menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan undang-undang. Jadi yang mendapat perlindungan disini adalah jabatannya. Jabatan berarti pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi.[6] Jabatan merupakan subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Sebagai pendukung hak dan kewajiban hal ini berhubungan dengan tugas dan wewenang yang ada dalam jabatan itu, sehingga setiap pekerjaan yang dilakukan yang mengatasnamakan jabatan haruslah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan. Inilah yang menjadi payung hukum pejabat dalam melaksanakan jabatannya.
Perlindungan hukum merupakan bagian dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan adanya keadilan, kemanfaatan dan juga suatu kepastian hukum. Perlindungan itu sendiri adalah perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, baik itu bersifat preventif,mengandung arti pencegahan agar tidak terjadi sengketa dengan jalan melakukan pengawasan. Untuk menghindari terjadinya suatu permasalahan hukum dikemudian hari maka pelaksanaan tugas jabatan Notaris haruslah berpedoman pada standar profesi.
Jadi disini harus dibedakan antara standar profesi yang menjadi pedoman utuk pelaksanaan tugas jabatannya dengan standart prilaku. Standar profesi harus sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam suatu profesi yang akan menjadi patokan atau dasar menjalankan profesi tersebut.
Perumusan standar profesi adalah melakukan pekerjaan secara teliti dan hati-hati didasarkan pada kemampuan rata-rata dengan rekan seprofesinya, dengan situasi dan kondisi yang sama untuk tujuan konkret dalam profesinya.[7]
Berdasarkan pengertian tersebut maka Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus mempunyai standar yang berupa kode etik yaitu Kode Etik Notaris yang diterapkan dalam pembuatan akta autentik.
Untuk dapat dilakukan pengawasan apakah seorang Notaris sudah sesuai dengan undang-undang jabatan dan kode etik terkait dengan upaya preventif yang dapat dilakukan adalah meningkatkan peran Kemenkumham sebagai instansi pemerintah yang ruang lingkup kewenangannya terkait dengan bidang kenotariatan dalam rangka melahirkan calon notaris yang professional dan berintregritas dengan membentuk Majelis Pengawas yang keanggotaannya mengikut sertakan pihak ahli/ akademisi, di samping dari kementrian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan serta Organisasi notaris.
Ruang lingkup tugas Majelis Pengawas Notaris secara umum memeriksa adanya pelanggaran kode etik ataupun pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris (Pasal 70 huruf a, Pasal 73 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 77 huruf a dan b UUJN). Adapun yang menjadi tugas Majelis Pengawas adalah memeriksa:
- Adanya dugaan pelanggaran kode etik;
- Adanya dugaan pelanggaran pelaksanaan tugas jabatan notaris;
- Perilaku notaris yang di luar menjalankan tugas jabatannya sebagai notaris yang dapat mengganggu atau mempengaruhi pelaksanaan tugas jabatan notaris.
Pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh menteri berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UUJN-P. Dan dalam Pasal 67 ayat (3) ditentukan bahwa majelis pengawas terdiri dari 9 (Sembilan) orang, terdiri dari unsur :
- a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang
- b. Organisasi notaris sebanyak 3 (tiga) orang
- c. Ahli/akademik sebanyak 3 (tiga) orang.
Permasalahan yang mendasar selama ini adalah bahwasanya anggota MKN mempunyai persepsi yang berbeda mengenai akta autentik, karena seperti yang telah diuraikan diatas keanggotaan dari MPD ini bukan saja dari kalangan notaris saja. Dalam ketentuan Pasal 66A UUJN-P, MKN bertugas untuk melakukan pembinaan terhadap notaris. Jika dikaitkan dengan Pasal 66 ayat(1) untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan MKN berwenang:
- a. Mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan
- b. Memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.
Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (2) mengenai tugas dari Majelis Kehormatan Notaris, yang menyatakan : Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai fungsi melakukan pembinaan dalam rangka :
- a. Menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi jabatannya; dan
- b. Memberikan perlindungan kepada Notaris terkait dengan kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi Akta.
MKN akan selalu melakukan pembinaan terhadap notaris agar nantinya tidak tersandung masalah tindak pidana dalam menjalankan tugas jabatannya, dan juga memberikan pembekalan dan pengetahuan tentang kenotariatan, akta autentik serta keterkaitan antara akta autentik dengan para pihak serta kerahasian dari sebuah akta dapat terjaga.
Menurut Ko Tjay Sing istilah yang digunakan adalah rahasia pekerjaan, beliau menjabarkan teori rahasia mutlak : dinamakan mutlak (absolute) dikarenakan wajib menyimpan rahasia pekerjaan dalam keadaan apapun, biasa atau luar biasa dan bagaimanapun wajib menyimpan rahasianya.[8]
Berdasarkan pengertian diatas maka notaris wajib merahasiakan isi dari akta dan keterangan yang diperolehnya karena jabatannya sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun juga.
Berdasarkan ketentuan Pasal 322 KUHP yaitu :
- 1. Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
- 2. Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
Dari uraian pasal diatas maka terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran membocorkan rahasia sedangkan karena jabatannya wajib merahasiakan maka terhadap orang tersebut dapat dijatuhi sanksi.
Dampak atau akibat hokum terhadap jabatan Notaris berkenaan dengan dibacakannya amar putusan MK pada tanggal 28 Mei 2013 maka fungsi tugas dan jabatan seorang notaris berada dalam posisi dilematis hal ini dikarenakan putusan MK tersebut adalah bersifat final dan mengikat.
Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatannya haruslah selalu memperhatikan UUJN. Sebagai pejabat pembuat akta autentik yang telah disumpah berdasarkan ketentuan Pasal 4 UUJN, yang mana salah satu sumpahnya adalah bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam tugas pelaksanaan jabatan saya. Dan dalam Pasal 16 (1) huruf e yang berbunyi
“merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Selain itu juga dalam Pasal 170 KUHAP yang berbunyi :
- 1. Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka
- 2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alas an untuk permintaan tersebut.
Putusan MK tersebut menyebabkan kebingungan dikalangan notaris. Tetapi ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh yaitu penggunaan hak ingkar dan rahasia jabatan berupaya untuk melindungi kepentingan para pihak yang berkepentingan agar terciptanya keadilan dan kepastian hukum. Hal ini dapat diartikan bahwa hak ingkar bukan saja merupakan suatu hak tetapi lebih kepada suatu kewajiban yang harus dilakukan untuk melindungi baik itu profesi notaris sendiri dan lebih mengkhusus lagi untuk melindungi para pihak dalam akta.
Berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata, KUHAP, KUHP, dan UUJN maka Hak ingkar sebagai wujud dari pelaksanaan rahasia jabatan notaris, dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah konstitusi yang menghapus frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah tidak serta merta dapat diartikan sebagai meniadakan atau menghapus hak ingkar notaris. Hak ingkar tetap melekat pada jabatan notaris.
Sumpah jabatan notaris dalam Pasal 4 dan kewajiban Notaris dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (e) Undang-Undang Jabatan Notaris mewajibkan Notaris untuk tidak berbicara, sekalipun dimuka pengadilan, artinya seorang Notaris tidak diperbolehkan untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang dimuat dalam akta.[9]
Berkaitan dengan hak yang melekat pada notaris yaitu hak ingkar maka dalam suatu proses pemeriksaan baik itu di tingkat penyelidikan, penyidikan, maupun pada saat proses persidangan, sikap dari notaris adalah pasif, dalam arti memberikan keterangan dalam sebatas hal-hal yang menyangkut pelaksanaan jabatan saja. Keharusan untuk menjaga rahasia itu wajib dilakukan bukan saja menjaga kerahasian dari isi akta tetapi juga merahasiakan segala keterangan yang diperolehnya.
KESIMPULAN
Dari uraian sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan terhadap permasalahan diatas adalah :
- 1. Bentuk perlindungan hukum oleh Majelis Kehormatan Notaris adalah secara preventif dengan melakukan pembinaan dan pengawasan agar seorang notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan standar profesi yaitu Kode Etik Notaris dan secara refresif terkait kepentingan proses peradilan maka MKN melakukan pemeriksaan terhadap notaris. Perlindungan ini bertujuan menjaga martabat dan kehormatan notaris dalam menjalankan profesi jabatannya serta memberikan perlindungan kepada notaris terkait dengan kewajiban merahasiakan isi akta. Jadi disini yang dilindungi adalah jabatannya bukan pejabatnya.
- 2. Bahwa untuk menjaga kerahasiaan segala keterangan yang diperoleh seorang notaris berkaitan dengan isi akta, selain itu juga sesuai dengan sumpah jabatannya seorang notaris dalam hal ia dipanggil untuk memberikan kesaksian terhadap akta yang dibuat dihadapannya maka hak ingkar adalah merupakan senjata akhir yang dapat dilakukan oleh seorang notaris agar notaris sebagai jabatan kepercayaan dapat tetap terjaga dan juga dalam rangka menjalankan sumpah jabatannya. Dengan kata lain bahwa hak ingkar ini adalah merupakan implementasi dalam menjaga kerahasiaan suatu akta berdasarkan UUJN.
SARAN
Dari hasil simpulan yang diuraikan diatas, dapat diberikan saran sebagai berikut :
- 1. Bagi notaris hendaknya dalam menjalankan tugas dan kewenangannya membuat akta autentik harus selalu berpedoman pada aturan-aturan / ketentuan- ketentuan mengenai unsur-unsur atau syarat-syrat esensial dalam proses pembuatan akta autentik,dan juga selalu mengacu pada standar profesi dalam hal ini kode etik notaris agar dapat terhindar dari segala permasalahan hokum terkait dengan akta yang dibuatnya. Disamping itu juga fungsi dari MKN agar dapat lebih ditingkatkan untuk menjamin adanya perlindungan hukum yang proposional artinya MKN dalam memeriksa notaris terkaitan permintaan dari penegak hukum hendaknya bisa bersikap adil dan transparan bagi Notaris apabila Notaris tersebut dihadapkan pada proses peradilan terkait dengan akta yang dibuatnya.
- 2. Bagi para anggota MKN dan penegak hukum lainnya hendaknya menyamakan persepsi dalam proses pemeriksaan terhadap notaris apakah notaris sebagai obyek atau akta yang sebagai obyek sehingga disini diperlukan suatu standart operasional prosedur (SOP) sebagai batasan dan acuan bagi MKN dalam menilai suatu permasalahan hukum yang terjadi. Agar supaya kedepannya lembaga MKN ini tidak bernasib sama dengan MPD. Dengan adanya suatu standart yang mengatur kewenangan MKN dalam hal ini pemeriksaan terhadap notaris maupun akta notaris, diharapkan MKN dapat memberikan suatu bentuk perlindungan hukum yang optimal bagi institusi Notaris. Disamping itu juga, keberadaan MKN ini seharusnya dibentuk secara berjenjang mulai dari tingkat daerah, wilayah, dan pusat. Hal ini dilakukan untuk menjamin perlindungan hokum bagi Notaris mengingat batas waktu yang diberikan oleh undang-undang dalam hal menolak atau menerima permohonan dari penegak hukum dalam pemanggilan notaris.
================================================================
Footnote;
[1] Roger Leroy Miller, 2002, Law For E-Comerce, Library of Conggres Cataloging in Publication Data, United States of America page.2.
[2] Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, hal.1
[3] Tan Thong Kie, 2011, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal.449.
[4] George Whitecross Patton, 1953, A Text Book of Jurisprudence, Oxford at the Clarendon Press, Second Edition, page 481.
[5] Bachtiar Effendi, dkk, 1991, Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 63.
[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.29.
[7] Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, hal.45
[8] Ko Tjay Sing, 1978, Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat, PT Gramedia, Jakarta, hal.43.
[9] Habib Adjie, 2012, Menjalin Pemikiran-Pendapat Tentang Kenotariatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal.97.