Akibat Hukum dari Pembatalan Hibah
Daftar isi
Pembatalan Hibah di Pengadilan Negeri Pati
Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
Suatu penghibahan adalah batal jika dilakukan dengan membuat syarat bahwa penerima hibah akan melunasi utang atau beban-beban lain di samping apa yang dinyatakan dalam akta hibah itu sendiri atau dalam daftar dilampirkan.
Semua orang boleh memberikan dan menerima hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak mampu untuk itu. Anak-anak di bawah umur tidak boleh menghibahkan sesuatu kecuali dalam hal yang ditetapkan pada Bab VII Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Alamat Kantor Notaris Lumajang |
Penghibahan antara suami isteri selama perkawinan mereka masih berlangsung, dilarang. Tetapi ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian berupa barang bergerak yang berwujud, yang harganya tidak mahal kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan penghibah.
Hibah-hibah kepada lembaga umum atau lembaga keagamaan tidak berakibat hukum, kecuali jika Presiden atau pembesar yang ditunjuknya telah memberikan kuasa kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut untuk menerimanya.
Penghibahan harus dilakukan oleh akta notaris, yang minut (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris dan bila tidak dilakukan demikian maka penghibahan itu tidak sah. Jika penerimaan itu tidak dilakukan dengan akta hibah itu maka penerimaan itu dapat dilakukan dengan suatu akta otentik kemudian, yang naskah aslinya harus disimpan oleh Notaris asal saja hal itu terjadi waktu penghibah masih hidup; dalam hal demikian maka bagi penghibah, hibah tersebut hanya sah sejak penerimaan hibah itu diberitahukan dengan resmi kepadanya.
Suatu penghibahan tidak dapat dicabut dan karena itu tidak dapat pula dibatalkan, kecuali dalam hal-hal berikut:[1]
- Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah;
- Jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah;
- Jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya.
Dalam hal syarat yang pertama, barang yang dihibahkan tetap tinggal pada penghibah atau ia boleh meminta kembali barang itu, bebas dari semua beban dan hipotek yang mungkin diletakkan atas barang itu oleh penerima hibah serta hasil dan buah yang telah dinikmati oleh penerima hibah sejak ia lalai dalam memenuhi syarat-syarat penghibahan itu. Sedangkan dalam hal syarat yang ke dua dan ketiga, barang yang telah dihibahkan tidak boleh diganggu gugat jika barang itu hendak atau telah dipindahtangankan, dihipotekkan atau dibebani dengan hak kebendaan oleh penerima hibah, kecuali kalau gugatan untuk membatalkan penghibahan itu sudah diajukan kepada dan didaftarkan di Pengadilan. Semua pemindahtanganan, penghipotekan dan pembebanan yang dilakukan oleh penerima hibah sesudah pendaftaran tersebut adalah batal, bila gugatan itu kemudian dimenangkan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Rudi, hakim Pengadilan Negeri Pati, suatu hibah dapat dibatalkan apabila: [2]
- Penerima hibah tidak pantas menerima hibah (durhaka, nakal)
- Penerima hibah tidak mau menerima hibah
- Penerima hibah menelantarkan barang hibah.
Dalam hal hibah dibatalkan karena penerima hibah tidak pantas menerima hibah, yaitu dimana seorang penerima hibah adalah seorang anak yang durhaka atau tidak berbakti kepada orang tuanya yang telah memberikan hibah sebidang tanah dan/atau bangunan kepadanya namun setelah beberapa tahun menerima hibah anak tersebut menjadi tidak berbakti lagi kepada orang tuanya, sebagai contoh si anak tidak mau merawat orang tuanya yang sedang jatuh sakit atau tidak memberikan nafkah kepada orang tuanya. Oleh karena si anak itu menjadi tidak berbakti lagi kepada orang tuanya maka orang tua dapat menarik kembali hibah yang telah diberikannya tersebut meskipun dalam surat hibah tidak disebutkan secara tertulis tentang perlakuan penerima hibah kepada pemberi hibah setelah menerima hibah.
Untuk penerima hibah yang tidak mau menerima pemberian hibah maka secara langsung hibah yang diberikan menjadi batal. Sedangkan dalam hal penerima menelantarkan barang hibah, sebagai contoh apabila seseorang menerima hibah dari orang tuanya atau orang lain berupa sebidang tanah, dengan maksud dari pemberi hibah agar tanah yang diberikan itu ditanami sehingga dapat menghasilkan pendapatan dari hasil panennya. Namun pada pelaksanaannya penerima hibah menelantarkan tanah pemberian tersebut sehingga tanah menjadi tandus dan tidak dapat diolah kembali maka pemberian hibah ini dapat diajukan pembatalan atau pencabutan kembali.
Mengenai sebab-sebab suatu hibah dapat dibatalkan, Bapak Rudi menjelaskan bahwa penyebab suatu hibah dapat dibatalkan adalah sebagai berikut: [3]
- Karena barang yang dihibahkan melebihi batas maximum pemberian hibah yaitu 1/3 dari harta kekayaan pemberi hibah
- Karena tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hibah
- Penerima hibah menjadi tidak cakap hukum.
Penyebab pertama suatu hibah dapat dibatalkan pada dasarnya sama dengan ketentuan dalam hukum Islam, dimana seseorang dalam memberikan hibah banyaknya barang yang akan diberikan dibatasi oleh hukum yaitu maksimal 1/3 dari harta kekayaan pemberi hibah. Oleh karena itu apabila terjadi pemberi hibah memberikan hibah kepada orang lain melebihi batas tersebut maka keluarga pemberi hibah dapat mengajukan pembatalan terhadap hibah tersebut.
Seperti halnya telah dijelaskan di atas bahwa hibah dapat dibatalkan apabila penerima menelantarkan barang hibah. Maka penyebab kedua suatu hibah dapat dibatalkan adalah karena tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari pemberian hibah. Hal ini berarti pada dasarnya seseorang memberikan hibah kepada orang lain dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya seorang ayah memberikan sebidang tanah kepada anaknya yang telah menikah dengan maksud anaknya dapat memanfaatkan tanah itu, misalnya untuk bercocok tanam, sehingga si anak mendapatkan pendapatan dari tanah tersebut dengan usahanya sendiri. Namun terkadang adakalanya si anak tidak mengetahui maksud dari orang tuanya memberikan hibah kepadanya sehingga si anak menelantarkan tanahnya sehingga tidak dapat digunakan kembali atau bahkan karena lama tidak diurus maka tanahnya kembali menjadi tanah negara. Sehingga pemberi hibah, dalam hal ini orang tuanya dapat menarik kembali atau melakukan pembatalan terhadap hibah yang diberikannya tersebut.
Alamat Kantor Notaris Lumajang |
Dalam hal pemberi hibah tidak cakap hukum, dalam hukum adat pada dasarnya tidak mengenal mengenai kecakapan dalam penerimaan hibah namun diadakan terobosan dengan hibah wasiat yaitu suatu hibah yang baru diberikan setelah pewaris/penghibah meninggal dunia atas dasar wasiat yang telah dibuatnya.[4] Namun dalam hal ini pemberian hibah tersebut bukan setelah pemberi hibah wafat melainkan setelah penerima hibah atau si anak telah beranjak dewasa atau telah memenuhi syarat yang telah ditentukan pemberi hibah untuk menerima hibahnya tersebut.
Sistem terobosan tersebut hampir serupa dengan hibah gantung yaitu pemberian hibah dimana barangnya tidak langsung diberikan pada saat seseorang menyatakan memberikan hibah kepada orang lain. Sehingga selama belum memenuhi syarat yang disyaratkan penghibah maka hibah tersebut belum berlaku atau belum terjadi. Sedangkan barang hibahnya masih sah menjadi milik penghibah.
Dalam hal ini hukum adat jawa tidak mengaturnya. Hukum adat yang mengatur ketentuan demikian adalah hukum adat matrilinial karena dalam hukum adat ini seorang anak, terutama anak laki-laki tidak menerima warisan dari mamaknya. Hal ini dikarenakan pewarisan dalam sistem ini dari orang tua perempuan kepada anaknya yang perempuan saja. Sehingga untuk memberikan hak waris kepada anak laki-lakinya perlu diadakan hibah wasiat tersebut.
Apabila kita bandingkan dengan ketentuan pembatalan hibah dalam hukum perdata KUH Perdata yang diatur dalam Pasal 1666 KUH Perdata. Dapat dilihat bahwa pada prinsipnya suatu hibah itu tidak dapat ditarik kembali, namun berdasarkan alasan-alasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan mengingat keadaan tertentu, suatu hibah itu dimungkinkan untuk ditarik kembali oleh si pemberinya.
Penarikan terhadap suatu hibah, hanyalah dimungkinkan berdasarkan alasan-alasan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 1688 KUH Perdata, yaitu: [5]
- apabila tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan;
- apabila si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan untuk mengambil nyawa si penghibah;
- apabila si penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah si pemberi hibah ini jatuh dalam keadaan miskin atau pailit.
Dalam hukum Islam terdapat syarat - syarat yang berkaitan dengan barang yang akan diberikan :
- Barang itu ada, disaat akan diberikan. Tidak sah memberikan sesuatu barang yang belum kelihatan nyata. Contoh, "Aku berikan nanti anak ayam/telur ayam ini kepada kamu, padahal telur ayam, anak ayam tersebut itu masih dalam perut binatang tersebut". Pemberian semacam ini, hukumnya batal.
- Barang yang diberikan itu memiliki nilai menurut syara'. Tidak boleh memberikan khamar atau sejenisnya, atau bangkai mayat, babi dan lain-lainnya yang diharamkan oleh agama Islam.
- Barang tersebut memang dimiliki oleh orang yang akan memberikannya.
- Barang tersebut, bisa dibagi. Kalau masih dalam pembagian, hendaklah dibagi dulu, dipisahkan, ditentukan nilai harga jualnya. Contoh : Bila seseorang ingin memberikan kepada anaknya setengah dari rumah, untuk seorang anaknya, setengahnya lagi untuk anaknya yang lain, maka hendaklah sang orang tua membagi dulu berapa nilai jual rumah itu, baru dibagidua. Apabila diberikan tanpa dibagi dulu, maka hokum hibah semacam ini batal.
- Tidak boleh memberikan barang, dimana barang tersebut masih didalam pemakaian orang yang akan memberikannya. Contoh, bila sang ayah ingin memberikan tanah ladang kepada anaknya, sementara ladang tersebut masih ada pohon yang akan menghasilkan buah, atau yang sedang berbuah, sementara sang ayah masih memerlukan, atau mengambil hasil pohon tersebut, maka pemberian semacam ini, hukumnya batal. Begitupun terhadap rumah. Harus dikosongkan dulu isi rumah, baru silahkan diberikan pada sang anak.
- Imam Maliki menambahkan syarat ini, dengan pemberian tidak boleh lebih dari sepertiga harta.
- Tidak boleh pemberi memberikan hartanya, disaat ia sedang sakit berat, atau sakratul maut, dan apabila ingin memberikan lebih dari sepertiga hartanya, haruslah atas izin dari ahli warisnya.
- Hibah hukum dasarnya Sunnah, karena ini merupakan suatu kebaikan. Namun dengan syarat, bukanlah sekedar untuk peminjaman atau pemanfaatan belaka, atau penggantian kelaknya. Apabila pemberian seumur hidup ini bersyarat, maka hukumnya batal.
Menurut Pasal 212 Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw yang berbunyi
"Tidak halal/ tidak boleh salah seorang kamu memberikan suatu pemberian kepada seseorang, kemudian dimintanya kembali, kecuali pemberian seorang ayah kepada anaknya". [6]Meskipun telah ada dasar hukumnya, dalam hal inipun harus dengan syarat bahwa pengembalian tersebut adalah karena kasih sayang, cinta juga karena ia membutuhkannya, dan memang tujuannya untuk mencari pahala akhirat.
Dilihat dari uraian di atas maka dapat terlihat bahwa pada dasarnya hukum adat yang selama ini digunakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, masyarakat adat jawa pada khususnya menggunakan hukum waris adat yang secara tidak langsung telah terpengaruhi oleh hukum waris perdata BW maupun hukum waris Islam. Hal ini terlihat dari adanya benang merah dari yang dijelaskan oleh hakim pengadilan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum waris perdata BW dengan hukum waris Islam.
Menyangkut para pihak yang dapat mengajukan suatu pembatalan hibah adalah pemberi hibah, ahli waris kecuali keluarga semenda, istri, Balai Harta Peninggalan (BHP).[7] Pemberi hibah dapat melakukan permohonan pembatalan hibah apabila dikemudian hari tidak tercapai maksud dan tujuan sebagaimana ia inginkan dalam memberikan hibah tersebut. Hal ini dapat pula terjadi apabila dikemudian hari penerima hibah tidak berkelakuan baik terhadap pemberi hibah.
Ahli waris dapat mengajukan pembatalan hibah disini dalam hal pemberian hibah yang dilakukan pewaris melebihi batas maksimal pemberian hibah yaitu 1/3 bagian dari harta warisan. Dengan demikian ahli waris dapat mengajukan pembatalan hibah atas haknya terhadap harta warisan yang berkurang karena adanya hibah. Namun disini ada pengecualian yaitu ahli waris semenda tidak dapat mengajukan pembatalan hibah dikarenakan hubungan antara pewaris dengan semenda tidak termasuk kekerabatan dekat.
Seorang istri atau janda dapat mengajukan suatu pembatalan hibah atas harta yang telah dihibahkan oleh suaminya. Hal ini dikarenakan terjadinya kekurangan biaya hidup keluarga setelah sepeninggal suaminya. Sehingga untuk mencukupi hal tersebut, seorang janda dari pemberi hibah dapat mengajukan pembatalan hibah dengan alasan tersebut.
Sedangkan Balai Harta Peninggalan (BHP) dapat pula mengajukan pembatalan hibah dikarenakan pemberi hibah dinyatakan pailit oleh kreditur sehingga untuk menunaikan kewajiban pembayaran atas hutang-hutangnya BHP dapat melakukan pengajuan pembatalan hibah yang telah diterima oleh penerima hibah.
Proses pembatalan hibah pada dasarnya sama dnegan pengajuan gugatan dengan materi pokok pembatalan hibah. Pengajuan gugatan terjadi apabila terdapat suatu sengketa antara para pihak. Dalam penyusunan suatu gugatan R. Soeroso menyatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:[8]
Menyangkut para pihak yang dapat mengajukan suatu pembatalan hibah adalah pemberi hibah, ahli waris kecuali keluarga semenda, istri, Balai Harta Peninggalan (BHP).[7] Pemberi hibah dapat melakukan permohonan pembatalan hibah apabila dikemudian hari tidak tercapai maksud dan tujuan sebagaimana ia inginkan dalam memberikan hibah tersebut. Hal ini dapat pula terjadi apabila dikemudian hari penerima hibah tidak berkelakuan baik terhadap pemberi hibah.
Ahli waris dapat mengajukan pembatalan hibah disini dalam hal pemberian hibah yang dilakukan pewaris melebihi batas maksimal pemberian hibah yaitu 1/3 bagian dari harta warisan. Dengan demikian ahli waris dapat mengajukan pembatalan hibah atas haknya terhadap harta warisan yang berkurang karena adanya hibah. Namun disini ada pengecualian yaitu ahli waris semenda tidak dapat mengajukan pembatalan hibah dikarenakan hubungan antara pewaris dengan semenda tidak termasuk kekerabatan dekat.
Seorang istri atau janda dapat mengajukan suatu pembatalan hibah atas harta yang telah dihibahkan oleh suaminya. Hal ini dikarenakan terjadinya kekurangan biaya hidup keluarga setelah sepeninggal suaminya. Sehingga untuk mencukupi hal tersebut, seorang janda dari pemberi hibah dapat mengajukan pembatalan hibah dengan alasan tersebut.
Sedangkan Balai Harta Peninggalan (BHP) dapat pula mengajukan pembatalan hibah dikarenakan pemberi hibah dinyatakan pailit oleh kreditur sehingga untuk menunaikan kewajiban pembayaran atas hutang-hutangnya BHP dapat melakukan pengajuan pembatalan hibah yang telah diterima oleh penerima hibah.
Proses pembatalan hibah pada dasarnya sama dnegan pengajuan gugatan dengan materi pokok pembatalan hibah. Pengajuan gugatan terjadi apabila terdapat suatu sengketa antara para pihak. Dalam penyusunan suatu gugatan R. Soeroso menyatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:[8]
- Tiap orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang dianggap merugikan lewat pengadilan.
- Gugatan dapat diajukan secara lisan atau tertulis dan bila perlu dapat minta bantuan Ketua Pengadilan Negeri.
- Gugatan itu harus diajukan oleh yang berkepentingan.
- Tuntutan hak di dalam gugatan harus merupakan tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya, yang dapat dikabulkan apabila kebenarannya dapat dibuktikan dalam sidang pemeriksaan.
- Mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan tidak ada ketentuannya, tetapi kita dapat melihat dalam Rv ps 8 No. 3 yang mengharuskan adanya pokok gugatan yang meliputi:
- a. Identitas para pihak.
- b. Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. Dalil-dalil ini lebih dikenal dengan istilah fundamentum petendi.
- c. Tuntutan atau petitum ini harus jelas dan tegas. HIR dan Rbg sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan.
Dalam mencari jalan penyelesaian mengenai sengketa harta warisan pada umumnya masyarakat menghendaki adanya penyelesaian yang rukun dan damai tidak saja terbatas pada para pihak yang berselisih tetapi juga termasuk semua anggota keluarga. Jadi masyarakat bukan menghendaki adanya suatu keputusan menang atau kalah, sehingga salah satu pihak tetap merasakan bahwa keputusan itu tidak adil dan hubungan kekeluargaan menjadi renggang atau putus karena perselisihan tidak menemukan penyelesaiannya. Melainkan yang dikehendaki adalah bahwa perselisihan itu berhasil diselesaikan dengan damai sehingga gangguan keseimbangan yang merusak kerukunan sekeluarga itu dapat dikembalikan menjadi uth dan rukun seperti sedia kala.
Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan pada dasarnya selain untuk mencari penyelesaian damai dan adil sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, tetapi juga mencari jalan keadilan menurut perundangan-undangan, yurisprudensi dan perasaan hakim. Hal ini dikarenakan dalam memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepada majelis hakim sebagai bahan pertimbangan adalah perundang-undangan dan juga pada yurisprudensi atas putusan yang sejenis pada masa lalu. Selain itu dalam memutuskan suatu perkara seorang hakim diberi hak untuk menyatakan putusannya sendiri. Sehingga dalam memutuskan perkara dapat dilihat seberapa dalam seorang hakim memahami kasus yang diputusnya.
Penerima hibah dapat mengajukan gugatannya akibat pembatalan hibah yang dilakukan oleh si pemberi hibah apabila pemberi hibah wanprestasi yaitu menarik hibah secara sepihak dan hibah yang dibuat antara kedua belah pihak mengikat dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi kedua pihak. Kecuali bila si penerima hibah wanprestasi yaitu dengan menelantarkan si pemberi hibah dan dapat dibuktikan di pengadilan, maka yang mengajukan permohonan pembatalan hibah adalah si pemberi hibah dan si penerima hibah tidak bisa menggugatnya karena walupun pasal 1666 BW menyebutkan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, tetapi pengaturan tentang hibah ada dalam buku III BW yang sifatnya mengatur, sehingga kedua pihak boleh menyimpanginya misalnya si penerima hibah harus memelihara pemberi hibah selama hidupnya, bila tidak maka hibah dapat dibatalkan.
Dengan adanya hibah, maka akan timbul hubungan hukum antara pemberi hibah dan penerima hibah walaupun hubungan hukum tersebut sifatnya sepihak yang artinya si pemberi hibah hanya punya kewajiban saja tanpa mempunyai hak, hendaknya dalam memberikan hibah pada seseorang dilihat terlebih dahulu kepatutan dan kepantasan dari si penerima hibah untuk menerima hibah tersebut, sehingga tidak timbul pembatalan hibah yang menyebabkan hubungan hukum antara kedua pihak bermasalah.
Gugatan dari si penerima hibah ke pemberi hibah dapat dihindari dengan jalan penyelesaian sengketa secara musyawarah atau kekeluargaan yang akan mempertemukan kepentingan kedua belah pihak daripada melalui jalan pengadilan yang akan memakan waktu lama dan belum tentu kepentingan masing-masing pihak dapat terpenuhi. Hendaknya masing-masing pihak melaksanakan perjanjian hibah itu dengan benar sehingga salah satu pihak tidak ada yang dirugikan. Misalnya penerima hibah harus dengan baik memelihara si pemberi hibah karena si pemberi hibah memberikan hibah secara ikhlas. Sehingga kedua pihak tidak ada yang merasa dirugikan yang pada akhirnya akan mengajukan gugatan kepada masing-masing pihak.
Akibat hukum adalah akibat-akibat yang timbul karena adanya suatu perbuatan, sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.[10] Misalnya, kesepakatan dua belah pihak yang cakap, dapat mengakibatkan lahirnya perjanjian. Akibat hukum dapat terjadi pula karena terjadinya pembatalan suatu perbuatan hukum, misalnya adanya pembatalan hibah maka menimbulkan akibat hukum atas harta hibah.
Akibat hukum atas harta hibah yang dimohonkan pembatalan di suatu Pengadilan dengan adanya putusan pembatalan hibah yang telah berkekuatan hukum tetap maka kepemilikan atas harta tersebut akan kembali kepada pemberi hibah. [11]
Dengan kata lain seluruh harta yang telah dihibahkannya pada waktu dulu akan menjadi hak miliknya sendiri. Sebagai contoh apabila seseorang memberikan hibah sebidang tanah atau sebuah rumah, maka dengan adanya putusan pembatalan hibah oleh suatu pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap maka tanah atau rumah tersebut akan kembali menjadi hak milik pemberi hibah.
Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan pada dasarnya selain untuk mencari penyelesaian damai dan adil sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, tetapi juga mencari jalan keadilan menurut perundangan-undangan, yurisprudensi dan perasaan hakim. Hal ini dikarenakan dalam memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepada majelis hakim sebagai bahan pertimbangan adalah perundang-undangan dan juga pada yurisprudensi atas putusan yang sejenis pada masa lalu. Selain itu dalam memutuskan suatu perkara seorang hakim diberi hak untuk menyatakan putusannya sendiri. Sehingga dalam memutuskan perkara dapat dilihat seberapa dalam seorang hakim memahami kasus yang diputusnya.
AKIBAT HUKUM TERHADAP HARTA HIBAH YANG DIMOHONKAN PEMBATALAN
Hubungan hukum antara pemberi hibah dan penerima hibah adalah hubungan hukum karena adanya perjanjian dimana pemberi hibah sebagai debitor dan penerima hibah sebagai kreditor.[9] Hibah adalah hubungan hukum yang sepihak. Artinya, pemberi hibah memberikan hibah pada penerima hibah secara cuma-cuma tanpa ada imbalan apapun dari penerima hibah. Penerima hibah bisa berasal dari para waris/ waris itu sendiri.Penerima hibah dapat mengajukan gugatannya akibat pembatalan hibah yang dilakukan oleh si pemberi hibah apabila pemberi hibah wanprestasi yaitu menarik hibah secara sepihak dan hibah yang dibuat antara kedua belah pihak mengikat dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi kedua pihak. Kecuali bila si penerima hibah wanprestasi yaitu dengan menelantarkan si pemberi hibah dan dapat dibuktikan di pengadilan, maka yang mengajukan permohonan pembatalan hibah adalah si pemberi hibah dan si penerima hibah tidak bisa menggugatnya karena walupun pasal 1666 BW menyebutkan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, tetapi pengaturan tentang hibah ada dalam buku III BW yang sifatnya mengatur, sehingga kedua pihak boleh menyimpanginya misalnya si penerima hibah harus memelihara pemberi hibah selama hidupnya, bila tidak maka hibah dapat dibatalkan.
Dengan adanya hibah, maka akan timbul hubungan hukum antara pemberi hibah dan penerima hibah walaupun hubungan hukum tersebut sifatnya sepihak yang artinya si pemberi hibah hanya punya kewajiban saja tanpa mempunyai hak, hendaknya dalam memberikan hibah pada seseorang dilihat terlebih dahulu kepatutan dan kepantasan dari si penerima hibah untuk menerima hibah tersebut, sehingga tidak timbul pembatalan hibah yang menyebabkan hubungan hukum antara kedua pihak bermasalah.
Gugatan dari si penerima hibah ke pemberi hibah dapat dihindari dengan jalan penyelesaian sengketa secara musyawarah atau kekeluargaan yang akan mempertemukan kepentingan kedua belah pihak daripada melalui jalan pengadilan yang akan memakan waktu lama dan belum tentu kepentingan masing-masing pihak dapat terpenuhi. Hendaknya masing-masing pihak melaksanakan perjanjian hibah itu dengan benar sehingga salah satu pihak tidak ada yang dirugikan. Misalnya penerima hibah harus dengan baik memelihara si pemberi hibah karena si pemberi hibah memberikan hibah secara ikhlas. Sehingga kedua pihak tidak ada yang merasa dirugikan yang pada akhirnya akan mengajukan gugatan kepada masing-masing pihak.
Akibat hukum adalah akibat-akibat yang timbul karena adanya suatu perbuatan, sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.[10] Misalnya, kesepakatan dua belah pihak yang cakap, dapat mengakibatkan lahirnya perjanjian. Akibat hukum dapat terjadi pula karena terjadinya pembatalan suatu perbuatan hukum, misalnya adanya pembatalan hibah maka menimbulkan akibat hukum atas harta hibah.
Akibat hukum atas harta hibah yang dimohonkan pembatalan di suatu Pengadilan dengan adanya putusan pembatalan hibah yang telah berkekuatan hukum tetap maka kepemilikan atas harta tersebut akan kembali kepada pemberi hibah. [11]
Dengan kata lain seluruh harta yang telah dihibahkannya pada waktu dulu akan menjadi hak miliknya sendiri. Sebagai contoh apabila seseorang memberikan hibah sebidang tanah atau sebuah rumah, maka dengan adanya putusan pembatalan hibah oleh suatu pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap maka tanah atau rumah tersebut akan kembali menjadi hak milik pemberi hibah.
Pengembalian ini dilakukan dengan mengosongkan terlebih dahulu obyek hibah tersebut. Misalnya, apabila obyek hibah yang diberikan berupa rumah maka penerima hibah yang telah menempati rumah tersebut harus meninggalkan rumah yang diterimanya tersebut sampai jangka waktu yang telah ditentukan berdasarkan putusan majelis hakim dalam pembatalan hibah. Sedangkan apabila obyek hibah berupa tanah maka apabila di atas tanah tersebut oleh penerima hibah telah didirikan sebuah bangunan yang permanen maka dalam jangka waktu tersebut bangunan tersebut dibongkar dan diratakan kembali dengan tanah.
Apabila obyek hibah tersebut telah dibalik nama atau telah disertifikatkan atas nama penerima hibah, maka sertifikat tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Pemberi hibah dapat mengajukan permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar sertifikat obyek sengketa tersebut tidak berlaku lagi dengan adanya putusan pembatalan hibah tersebut. Dengan demikian sertifikat obyek sengketa tersebut kembali juga diatas namakan pemberi hibah.
Dalam perkara pembatalan hibah yang terjadi di Pengadilan Negeri Pati dengan Nomor perkara 20/Pdt.G/1996/PN.Pt sebagaimana telah diajukan banding di pengadilan Tinggi Semarang dengan Nomor perkara 180/Pdt./1997/PT.Smg yang memutuskan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pati atas pembatalan hibah antara Tuan Maridjan Limpung dan Nyonya Wartinah, dimana telah diperkuat dengan putusan kasasi Mahkamah Agung dengan Nomor perkara 18/Pdt.K/1997/PN.Pt yang menyatakan bahwa hibah yang telah diberikan oleh Tuan Ramidjan Limpung kepada Wartinah dibatalkan demi hukum dengan pertimbangan bahwa Wartinah, penerima hibah, telah melakukan perbuatan melawan hukum atas ketidakberbaktiannya kepada Tuan Ramidjan Limpung selaku orang tuanya dan pemberi hibah.
Dengan adanya putusan Mahkamah Agung tersebut maka hibah menjadi batal demi hukum dan sebagai akibat hukumnya obyek sengketa yang berupa tanah seluas ± 380 m2 yang telah diberikan oleh Tuan Ramidjan Limpung kepada Wartinah menjadi hak miliknya kembali secara keseluruhan. Termasuk juga tanah seluas ±3850 m2 yang terletak di Desa Jatiroto persil Nomor : 34C Nomor 1068 klas II seluruhnya secara sah milik Tuan Ramidjan Limpung.
Selain itu Nyonya Wartinah dan/atau siapapun yang memperoleh hak dari pada obyek sengketa itu diharuskan membongkar segala bangunan yang menjadi haknya dan mengosongkan tanah sengketa dari segala haknya yang selanjutnya menyerahkan tanah tersebut kepada Tuan Maridjan Limpung selaku Penggugat (pemberi hibah). Apabila diperlukan dalam pengosongan tanah ini mempergunakan bantuan dari Alat Negara.
Dengan pengosongan obyek sengketa dan kembalinya hak milik kepada Tuan Maridjan Limpung maka surat-surat yang telah diatasnamakan, seperti surat tanah, sertipikat dan lain-lain dengan atas nama Nyonya Wartinah menjadi batal demi hukum. Oleh karena itu surat-surat tersebut menjadi tidak berlaku kembali.
Apabila obyek hibah tersebut telah dibalik nama atau telah disertifikatkan atas nama penerima hibah, maka sertifikat tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Pemberi hibah dapat mengajukan permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar sertifikat obyek sengketa tersebut tidak berlaku lagi dengan adanya putusan pembatalan hibah tersebut. Dengan demikian sertifikat obyek sengketa tersebut kembali juga diatas namakan pemberi hibah.
Dalam perkara pembatalan hibah yang terjadi di Pengadilan Negeri Pati dengan Nomor perkara 20/Pdt.G/1996/PN.Pt sebagaimana telah diajukan banding di pengadilan Tinggi Semarang dengan Nomor perkara 180/Pdt./1997/PT.Smg yang memutuskan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pati atas pembatalan hibah antara Tuan Maridjan Limpung dan Nyonya Wartinah, dimana telah diperkuat dengan putusan kasasi Mahkamah Agung dengan Nomor perkara 18/Pdt.K/1997/PN.Pt yang menyatakan bahwa hibah yang telah diberikan oleh Tuan Ramidjan Limpung kepada Wartinah dibatalkan demi hukum dengan pertimbangan bahwa Wartinah, penerima hibah, telah melakukan perbuatan melawan hukum atas ketidakberbaktiannya kepada Tuan Ramidjan Limpung selaku orang tuanya dan pemberi hibah.
Dengan adanya putusan Mahkamah Agung tersebut maka hibah menjadi batal demi hukum dan sebagai akibat hukumnya obyek sengketa yang berupa tanah seluas ± 380 m2 yang telah diberikan oleh Tuan Ramidjan Limpung kepada Wartinah menjadi hak miliknya kembali secara keseluruhan. Termasuk juga tanah seluas ±3850 m2 yang terletak di Desa Jatiroto persil Nomor : 34C Nomor 1068 klas II seluruhnya secara sah milik Tuan Ramidjan Limpung.
Selain itu Nyonya Wartinah dan/atau siapapun yang memperoleh hak dari pada obyek sengketa itu diharuskan membongkar segala bangunan yang menjadi haknya dan mengosongkan tanah sengketa dari segala haknya yang selanjutnya menyerahkan tanah tersebut kepada Tuan Maridjan Limpung selaku Penggugat (pemberi hibah). Apabila diperlukan dalam pengosongan tanah ini mempergunakan bantuan dari Alat Negara.
Dengan pengosongan obyek sengketa dan kembalinya hak milik kepada Tuan Maridjan Limpung maka surat-surat yang telah diatasnamakan, seperti surat tanah, sertipikat dan lain-lain dengan atas nama Nyonya Wartinah menjadi batal demi hukum. Oleh karena itu surat-surat tersebut menjadi tidak berlaku kembali.
========================================================================
Footnote;
[1] Pasal 1688 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
[2] Hasil wawancara dengan Rudi Kindarto, SH, hakim di Pengadilan Negeri Pati pada tanggal 29 Agustus 2008
[3] Hasil wawancara dengan Rudi Kindarto, SH, hakim di Pengadilan Negeri Pati pada tanggal 29 Agustus 2008
[4] Sudarsono. 1991. Hukum Waris Dan Sistem Bilateral. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hal: 35
[5] Benyamin Asri dan Thabrani Asri. 1988. Dasar – Dasar Hukum Waris Barat (Suatu Pembahasan Teoritis Dan Praktek). Bandung: Penerbit Transito.Hal.62
[6] Artikel Al Hibah/Al'Umry/Ar Ruqubiy(harta hadiah/seumur hidup/penjagaan/pemanfaatan seumur hidup
[7] Hasil wawancara dengan Rudi Kindarto, SH, hakim di Pengadilan Negeri Pati pada tanggal 29 Agustus 2008
[8] R. Soeroso. 2003. Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara Dan Proses Persidangan. Sinar Grafika, Jakarta. Hal. 26
[9] Widya Anggraeni, 2006, Tanggung Gugat Pemberi Hibah Akibat Pembatalan Hibah. Universitas Airlangga
[10] http://hukumpedia.com/index.php?title=Akibat_hukum
[11] Hasil wawancara dengan Rudi Kindarto, SH, hakim di Pengadilan Negeri Pati pada tanggal 29 Agustus 2008
[7] Hasil wawancara dengan Rudi Kindarto, SH, hakim di Pengadilan Negeri Pati pada tanggal 29 Agustus 2008
[8] R. Soeroso. 2003. Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara Dan Proses Persidangan. Sinar Grafika, Jakarta. Hal. 26
[9] Widya Anggraeni, 2006, Tanggung Gugat Pemberi Hibah Akibat Pembatalan Hibah. Universitas Airlangga
[10] http://hukumpedia.com/index.php?title=Akibat_hukum
[11] Hasil wawancara dengan Rudi Kindarto, SH, hakim di Pengadilan Negeri Pati pada tanggal 29 Agustus 2008