Tanah

[Tanah][bsummary]

Notaris

[Notaris][bigposts]

Lumajang

[Lumajang][twocolumns]

Notaris Lumajang: "PPJB Atas Tanah Tanpa Sertipikat"


 Notaris Lumajang Update Minggu 12 Januari 2020

KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT SEBAGAI OBYEK TRANSAKSI 

Jual beli tanah dewasa ini menimbulkan berbagai masalah baru. Pihak Penjual dan Pembeli tanah dengan alasan tertentu berani mengambil resiko hukum dalam melakukan transaksi, misalnya tanah yang belum bersertipikat. Peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat ditempuh melalui pengikatan terlebih dahulu, dikenal dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah. Notaris berwenang membuat akta perjanjian pengikatan jual beli tanah sebagaimana ditentukan didalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jabatan Notaris.

Sehingga terjadi masalah kekosongan norma terkait Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah belum bersertipikat, karena peraturan perundang-undangan hanya mengatur Perjanjian Pengikatan Jual Beli bagi tanah yang sudah bersertifikat. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tidak mengatur perihal Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah sebagai perjanjian pendahuluan jual beli tanah.
Hukum memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah yang memiliki itikad baik. Perjanjian yang dibuat para pihak beritikad baik, memiliki kekuatan hukum mengikat, berlaku seperti undang-undang bagi yang membuatnya. Isi Perjanjian tersebut sah dan mengikat bagi kedua belah pihak.Penyelesaian sengketa yang ditimbulkan akibat pelanggaran isi perjanjian tersebut diselesaikan dengan prosedur perdata berupa gugatan ke Pengadilan Negeri setempat. Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah dijadikan pedoman bagi Majelis hakim dalam menjatuhkan Putusan.

Prosedur Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat di Lumajang

Peralihan hak atas tanah yang belum bersertifikat yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, alat bukti peralihan haknya dapat berupa akta otentik yang dibuat oleh PPAT, namun apabila dilakukan dengan akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak (penjualdan pembeli) dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau Lurah, maka akta tersebut dapat dijadikan bukti perolehan hak atas tanah dan dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Sedangkan jual beli hak atas tanah yang belum bersertifikat tersebut dilakukan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, maka harus dibuktikan dengan akta jual beli yang dibuat oleh atau dihadapan PPAT. Apabila tidak dibuat dengan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT, maka proses jual beli tersebut harus diulang dengan jual beli yang dibuat oleh PPAT. Hal ini untuk memenuhi syarat dan ketentuan peralihan hak atas tanah tersebut dapat didaftarkan dengan mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
akta jual beli tanah lumajang

Di kalangan masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di pedesaan hingga saat ini belum semuanya mengenal adanya PPAT. Dalam melakukan transaksi di bidang pertanahan masih ada sebagian masyarakat di pedesaan yang menuangkan dalam akta yang ditandatangani oleh para pihak dengan diketahui Kepala Desa. Bahkan ada pula transaksi tanah yang hanya dituangkan dalam bentuk kwitansi pembayaran tanpa dibuat akta perjanjian. Model transaksi tanah seperti itu masih terjadi di sebagian masyarakat di pedesaan, karena transaksi mereka buat dirasa cukup hanya dibuktikan dengan akta yang dibuat sendiri atau sekedar catatan adanya bukti pembayaran.

Menurut pemahaman masyarakat selama ini transaksi jual beli tanah dilaksanakan sesuai prinsip kontan dan terang yang berlaku dalam hukum adat, sehingga tidak diperlukan formalitas seperti yang berlaku pada hukum barat yang mengharuskan transaksi dilaksanakan di hadapan pejabat umum. Oleh karena itulah tidak mengherankan jika keberadaan PPAT sebagai pejabat pembuat akta di bidang pertanahan belum banyak dikenal oleh masyarakat di pedesaan terutama di daerah terpencil. Apabila mereka melakukan transaksi dengan obyek tanah maka cukup dibuatkan dengan bentuk akta di bawah tangan dengan disaksikan oleh Kepala Desa. Pada sebagian masyarakat yang lain ada pula yang membuat akta dengan disaksikan atau dimintakan pengesahan kepada Camat. Dalam perspektif hukum pertanahan, Camat  sebagai kepala wilayah kecamatan secara eks officio adalah menjabat sebagai PPAT sementara.[1]

Keberadaan PPAT diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang menegaskan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan membuat akta-akta tanah tertentu (Pasal 1 angka 24). Selanjutnya dalam PP Nomor 37 Tahun 1998 disebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu menyangkut hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun (Pasal 1 angka 1). PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (sekarang Kepala BPN) untuk suatu daerah kerja tertentu. Dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat di daerah terpencil yang belum tersedia PPAT, Menteri dapat menunjuk Camat atau Kepala Desa sebagai PPAT Sementara, dan Kepala Kantor Pertanahan sebagai PPAT Khusus. Jabatan PPAT tidak boleh dirangkap dengan profesi advokat/pengacara, pegawai negeri (termasuk hakim dan jaksa), atau pegawai BUMN/BUMD.[2]

Jual beli hak atas tanah yang belum terdaftar (belum bersertifikat) tujuannya untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota melalui pendaftaran tanah secara sporadis, maka jual belinya harus dibuat dengan akta PPAT. Dengan pendaftaran pemindahan hak ke Kantor Petanahan Kabupaten/ Kota, maka terpenuhilah asas publisitas dalam pendaftaran tanah, yaitu setiap orang dapat mengetahui data fisik berupa letak, ukuran, batas-batas tanah, dan data yuridis berupa subyek hak, status hak dan pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota.

Penyederhanaan Pengurusan Pensertifikatan Tanah didasarkan pada Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertananahan Nasional No 1756/15.1/1V/2016.

Dengan pertimbangan; adalah untuk menjamin kepastian hukum atas hak tanah masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pendaftaran tanah. Mengingat masih terdapat masyarakat yang menguasai tanah namun tidak memiliki bukti-bukti kepemilikan tanah (alas hak) secara lengkap dan bahkan sama sekali tidak mempunyai bukti kepemilikan sehingga terkendala
dalam permohonan pendaftaran hak atas tanahnya.

Poinnya adalah Penghapusan Persyaratan Surat Kepemilikan Tanah (SKT) dari Kelurahan dalam pengurusan Sertipikat Tanah ke Kementerian ATR/BPN setempat. Yang mana sebelumnya SKT ini kepengurusannya memakan waktu yang lama.

Surat Keterangan apapun dari desa itu bukan sesuatu yang bisa menghambat, jika masyarakat tidak bisa mendapatkan SKT dalam mengurus sertifikat di BPN, maka pemerintah akan proaktif dalam melakukan proses pengecekan. Dengan demikian, masyarakat dan BPN tidak perlu menunggu terbitnya SKT dari kelurahan. Dalam hal ini, Kementerian ATR/BPN 'jemput bola' ke masyarakat itu sendiri sehingga tidak ada hambatan.

SKT itu menegaskan riwayat tanah. Kalau tidak ada, pemerintah akan proaktif. Seringkali Pejabat kelurahan juga diangkatnya bukan dari daerah itu, jadi bagaimana Pejabat Kelurahan tahu tentang riwayat tanah dimaksud sebenarnya.

Tentunya hal ini merupakan kabar baik bagi masyarakat yang status tanahnya belum bersertifikat. Selama ini masyarakat menganggap proses pengurusan sertifikat ruwet butuh waktu bertahun-tahun dan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Seringkali pemilik tanah setelah menunggu beberapa waktu tidak ada program pemerintah untuk mensertifikatkan tanah secara massal melalui PTSL Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (dulu PRONA) di wilayah tersebut, lalu berinisiatif untuk mengajukan pendaftaran/pensertifikatan tanahnya pada Kantor Pertanahan setempat. Inilah yang disebut sebagai pensertifikatan tanah secara sporadik.

Seperti dalam pendaftaran/pensertifikatan atas tanah bekas hak milik adat (dikenal sebagai "tanah girik"). Peralihan hak atas tanah girik biasanya dilakukan di hadapan Camat atau kepala desa. Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak dan selembar kwitansi saja. Sehingga tidak ada surat-surat apapun yang dapat digunakan untuk menelusuri kepemilikannya. Pensertifikatan tanah girik tersebut dalam istilah Hukum tanah disebut sebagai Pendaftaran Tanah Pertama kali.

Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya untuk tanah bekas hak milik adat dan tanah garapan, salah satu persyaratannya adalah mendapatkan surat rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang bersangkutan, yang menyatakan bahwa atas tanah tersebut belum pernah disertifikatkan serta riwayat pemilikan tanah dimaksud yang dilampirkan dengan SURAT RIWAYAT TANAH. Dan Pembuatan Surat yang menyatakan bahwa tanah tersebut tidak dalam keadaan sengketa dari RT/RW/LURAH. Dengan dihapuskannya persyaratan SKT maka proses pendaftaran tanah bisa menjadi lebih cepat.

Namun, harus dipahami juga oleh masyarakat bahwa tidak semua tanah-tanah yang belum bersertifikat tersebut berasal dari tanah bekas hak milik adat atau tanah girik. Karena salah satu bentuk surat yang mungkin dipegang oleh masyarakat merupakan tanah-tanah bekas hak Barat yang berasal sejak jaman Belanda, namun belum dikonversi pada Saat ketentuan konversi tanah diberlakukan di tahun 1960. Tanah-tanah yang demikian biasanya masih berstatus tanah Eigendom, Eigendom verponding, tanah Opstal maupun tanah Erfpacht, yang tentunya proses pensertifikatannya akan berbeda dengan proses pensertifikatan tanah bekas hak milik adat tersebut. 

Sebelum melakukan Proses Jual Beli Tanah Lumajang, perhatikan hal ini;

(1) mengecek kepastian kepemilikan hak, apakah penjual benar-benar pemilik sah tanah tersebut,
(2) perlu mengetahui tentang subjek yang memiliki tanah dan bangunan yang akan dibeli,
(3) harus mengetahui batas maksimum kepemilikan,
(4) mengecek apakah diatas tanah tersebut ada hak yang lebih tinggi atau tidak,
(5) mengecek apakah tanah dibeli sedang dijaminkan kredit atau tidak, dan
(6) mengecek apakah tanah tersebut tidak sedang dalam sengketa.

Setelah semuanya terpenuhi maka akta jual beli akan dibuatkan oleh PPAT.

Dokumen untuk membuat Akta Jual Beli Tanah di Kantor PPAT Lumajang;

Calon Penjual harus membawa;
(1) Surat Keterangan Status Tanah yang dibuat Kepala Desa atau Camat setempat,
(2) Surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) jika dilahan tersebut sudah berdiri bangunan,
(3) Kartu Tanda Penduduk (KTP),
(4) Akta Perkawinan,
(5) Bukti Pembayaran PBB,
(6) Surat persetujuan suami atau istri bagi yang sudah berkeluarga,
(7) dan Kartu Keluarga (KK).

Calon pembeli harus membawa KTP dan KK.

Dalam pembuatan akta jual beli, masing-masing pihak penjual dan pembeli berkewajiban membayar pajak transaksi. Penjual wajib membayar Pajak Penghasilan (Pph), sedangkan pembeli wajib membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Setelah akta ditandatangani maka kemudian diselesaikan oleh PPAT dan diserahkan kepada pihak pembeli untuk dilakukan pendaftaran sebagaimana diwajibkan PP Nomor 24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah untuk pertama kali atas tanah tersebut dapat dilakukan oleh pihak pembeli sendiri atau dikuasakan kepada pihak lain. Disamping itu juga dapat dikuasakan kepada PPAT yang membuat akta jual beli tersebut untuk mengajukan permohonan pendaftaran hak atas tanah pertama kali dan sekaligus mendaftarkan peralihan hak atas tanah yang dilakukan melalui jual beli yang dibuat dihadapan PPAT bersangkutan. Apabila pendaftaran tanah dilakukan oleh pihak ketiga atau dikuasakan kepada PPAT, maka harus dilampiri dengan surat kuasa khusus untuk melakukan pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak atas tanah tersebut.

Bagaimana prosedur pengajuan kepemilikan tanah masyarakat yang tidak lengkap/ sama sekali tidak mempunyai bukti kepemilikan?

  1. Dalam hal dasar penguasaan dan/atau bukti kepemilikan tanah masyarakat tidak lengkap atau sama sekali tidak mempunyai dasar penguasaan dan/atau bukti kepemilikan tanah agar dibuktikan dengan surat pernyataan tertulis tentang penguasaan fisik bidang tanah dengan itikad baik dari yang bersangkutan (tidak terdapat keberatan dari pihak lain atas tanah yang dikuasai/ tidak dalam sengketa; tidak termasuk aset pemerintah atau pemerintah daerah; tidak termasuk kawasan hutan).
  2. Surat pernyataan tersebut dibuat dengan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang saksi dari lingkungan setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua, baik kekerabatan vertikal maupun horizontal yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah benar pemilik dan menguasai bidang tanah tersebut.

Apakah dengan kemudahan tersebut memungkinkan pihak yang tidak bertanggung jawab membuat surat pernyataan palsu?

Surat pernyataan dibuat berdasarkan keterangan sebenar-benarnya dari pihak yang membuat pernyataan bertanggung jawab secara pidana dan perdata. Tentunya apabila dikemudian hari terbukti ada unsur ketidakbenaran dalam pernyataannya maka sertifikat dapat dibatalkan dan pelaku dapat diproses secara hukum.

Apakah Kantor Pertanahan/BPN mempunyai kewajiban untuk membuktikan siapa pemilik bidang tanah yg dimohonkan hak atas tanah/sertifikat?

Kantor Pertanahan (BPN) atau pejabat BPN adalah administrator pemerintahan di bidang pertanahan yang diberi kewenangan untuk menerima dan mencatat permohonan hak atas tanah/sertipikat dan memberikan hak atas tanah/sertipikat kepada masyarakat berdasarkan permohonan dan data-data surat/dokumen yang wajib dilengkapi berdasarkan peraturan yg berlaku.

Dengan terbitnya SE Menteri ATR/BPN 14 april 2016 No. 1756/15.1/1V/2016 yang mengatur kelengkapan dokumen/surat utk permohonan hak atas tanah/sertipikat, bila masyarakat pemohon "tdk mempunyai data surat/dokumen" atau "tidak mempunyai data surat/dokumen yang lengkap" untuk pembuktian "penguasaan dan kepemilikan bidang tanah" dilakukan dengan "membuat surat pernyataan" sebagai yang terlampir dalam SE Menteri ATR/BPN tersebut sebagai "bukti sah" penguasaan dan kepemilikan bidang tanah yang dimohon hak atas tanah/sertipikatnya. Dengan demikian memang secara hukum Kantor Pertanahan/BPN atau pejabatnya "tidak perlu membuktikan" siapa pemilik bidang tanah yang bersangkutan, dengan asas yang dianut dalam sistem pendaftaran tanah di indonesia yang berasaskan "negatif yang bertendensi positif" maka status dan kedudukan hukum sertipikat adalah "alat bukti yang kuat" bukan mutlak. 

Prosedur Pendaftaran Tanah secara Sporadis di Lumajang;

  1. Mengajukan permohonan pendaftaran tanah secara sporadis kepada Kepala Kantor Pertanahan
  2. Membayar biaya pendaftaran. Biaya pendaftaran ini telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 Tentang Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional.
  3. Setelah dilakukan pembayaran biaya pendaftaran, maka kemudian dilakukan pengukuran tanah oleh petugas ukur dari Kantor Pertanahan
  4. Pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah dan penetapan batas
  5. Pengumuman data fisik dan data yuridis serta pengesahannya. Pengumuman dilakukan dalam waktu selama 60 hari, setelah jangka waktu pengumuman berakhir maka kemudian dilakukan pengesa han oleh Kepala Kantor Pertanahan
  6. Pembukuan hak, setelah dilakukan pengakuan dan pengesahan hak pasca diumumkan, maka kemudian dibuat buku tanah hak atas tanah tersebut yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan.
  7. Penertiban sertifikat, yang dilakukan setelah dibuatkan buku tanah hak atas tanah bersangkutan, dimana kutipan data yuridis dan data fisik tanah yang tercantum dalam buku tanah kemudian ditulis dalam sertifikat hak atas tanah tersebut.
  8. Penyerahan sertifikat, yang dilakukan setelah sertifikat selesai dibuat dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Rangkaian prosedur pendaftaran peralihan hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas sesuai ketentuan pendaftaran tanah sporadis menurut PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dimana salah satu tahapannya adalah dilakukan pengumuman data fisik dan data yuridis selama 60 hari di Kantor Pertanahan, dengan tujuan agar pihak ketiga mengetahui dan mengajukan keberatan jika mempunyai hak atas tanah tersebut. Apabila selama dilakukan pengumuman tidak ada pihak lain yang berkeberatan, maka kemudian dilakukan pembukuan data fisik dan data yuridis dalam Buku Tanah yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan.

Setelah dibuatkan Buku Tanah, maka diterbitkan sertifikat hak atas tanah yang berisi kutipan data fisik dan data yuridis serta dilampirkan gambar situasi. Sertifikat hak atas tanah atas nama pemegang hak (pemohon pendaftaran hak atas tanah) tersebut ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan. Setelah sertifikat ditandatangani maka kemudian diserahkan kepada pemegang hak. Apabila pengurusan pendaftaran jual beli hak atas tanah tersebut dilakukan orang lain, maka harus disertai dengan surat kuasa khusus yang berisi kuasa pengurusan seluruh proses pendaftaran hak untuk pertama kali sampai penerimaan sertifikat tanah pada saat proses pendaftaran haknya telah selesai.

Sebelumnya sedikit ilustrasi mengenai : sistem pendaftaran tanah NEGATIF YANG BERTENDENSI POSITIF. Dengan adanya sistem pendaftaran tanah yang demikian, maka dalam hal ini negara tidak menjamin akan kebenaran data yang disajikan dalam Buku Tanah yang tersimpan di Kantor Pertanahan. Walaupun sudah dilakukan upaya untuk mencegah terjadinya tumpang tindih atau kesalahan dalam proses pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikatnya, namun NEGARA BISA SAJA SALAH. Jadi negara tidak menjamin bahwa data tanah yang disajikan adalah mutlak benar. Akibatnya, jika ada yang mengklaim suatu tanah yang sudah terdaftar, dapat dilakukan mekanisme tuntutan pembatalan sertifikat dan selanjutnya akan mengklaim suatu tanah yang sudah terdaftar, dapat dilakukan mekanisme tuntutan pembatalan sertifikat dan selanjutnya akan dibuat sertifikat baru berdasarkan bukti baru.

Hal ini berbeda dengan negara yang menganut sistem pendaftaran tanah POSITIF. Dimana negara tersebut menjamin jika ternyata data yang tersimpan dalam proses pembukuan tanah ternyata salah, maka negara akan mengganti kerugian si pemilik tanah atau pembeli tanah yang bersangkutan. Hebat kan?

Apakah tidak tertutup kemungkinan ada pihak ketiga yang dirugikan?

Tidak ditutup kemungkinan penerbitan hak atas tanah/sertipikat tersebut dilakukan penuntutan oleh pihak ketiga yang merasakan kerugian dengan kewajiban kepada pihak ketiga yang dirugikan tersebut "wajib/harus" membuktikan dalil gugatannya di pengadilan.

Tetapi berdasarkan pasal 32 ayat 2 PP No 24/1997 "daluwarsa" penuntutan terhadap pemberian hak atas tanah/penerbitan sertipikat adalah 5 tahun "sejak tanggal diterbitkan sertipikat". Istilah hukumnya: Rechtsverwerking.

Namun kalau dicermati, di dalam praktik masih saja timbul berbagai gugatan atas bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar selama puluhan tahun. Dan sayangnya hal tersebut masih dilayani oleh Kantor Pertanahan.

Apakah Kantor Pertanahan/BPN dan pejabatnya salah bila ternyata kemudian setelah terbit sertipikat ada pihak ketiga bisa membuktikan kesalahan/ketidakbenaran penerbitan sertipikat karena adanya gugatan ?

Kantor Pertanahan/BPN dan pejabatnya sebagai administrator yang bertugas menerima permohonan dan pencatatan serta menerbitkan sertipikat "tentu saja tidak salah" bila semua prosedur dan kelengkapan dokumen yang disyaratkan peraturan yang berlaku sudah terpenuhi sebagaimana yang diatur.

Terbitnya SE Menteri ATR/BPN 14 april 2016 No 1756/15.1/1V/2016 merupakan terobosan dan pemangkasan yang jitu untuk mempermudah pemberian sertipikat tanah Saat ini dengan melaksanakan pasal 60 ayat 3 & pasal 61 ayat 1 PMNA No 3/1997.

Dengan demikian Surat Edaran Menteri ATR/BPN 14 april 2016 No 1756 tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan dalam pendaftaran tanah malah justru konsisten dan konsekuen tegas melaksanakan pasal 60 ayat 3 dan pasal 61 ayat 1 PMNA NO. 3/1997.

Namun, jika metode pensertifikatan tanah secara sporadik dilakukan dalam waktu singkat dan kilat, dikhawatirkan dalam upaya penyederhanaan tersebut berakibat pada munculnya berbagai permasalahan baru terutama maraknya sertifikat ganda atau pemalsuan kepemilikan tanah atas suatu bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar. 

Kesimpulan

Peralihan hak atas tanah yang belum bersertifikat yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, alat bukti peralihan haknya dapat berupa akta otentik yang dibuat oleh PPAT, namun apabila dilakukan dengan akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak (penjual dan pembeli) dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau Lurah, maka akta tersebut dapat dijadikan bukti perolehan hak atas tanah dan dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Sedangkan jual beli hak atas tanah yang belum bersertifikat tersebut dilakukan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, maka harus dibuktikan dengan akta jual beli yang dibuat oleh atau dihadapan PPAT. Apabila tidak dibuat dengan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT, maka proses jual beli tersebut harus diulang dengan jual beli yang dibuat oleh PPAT. Hal ini untuk memenuhi syarat dan ketentuan peralihan hak atas tanah tersebut dapat didaftarkan dan hasil akhir pendaftaran tanah berupa alat bukti yang kuat yaitu sertifikat.
=============================================================

Footnote dan Referensi;

[1] Husni Tamrin, 2009, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal.64.
[2] M. Khoidin, 2004, Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, Tidak Dipublikasikan, hal. 279-283.
  • Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertnanahan Nasional No 1756/15.1/1V/2016 tentang Petunjuk  Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat
  • Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
  • Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997
  • Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria Ketentuan Konversi
  • Peraturan Menteri Negara Agraria 3 Tahun 1997 tentang Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
  • Blog MJ. Widijatmoko S.H