Notaris di Lumajang: "Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat"

Notaris di Lumajang Update Minggu 19 Januari 2020

Peralihan hak atas tanah karena Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat

Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukkan dalam hukum benda, khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak masuk dalam hukum perikatan khususnya hukum perjanjian, hal ini karena: 
Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan suatu perjanjian sehingga tidak diwajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut, jual beli tanah menurut hukum adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban, yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi si pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah tersebut”
jual beli tanah adat lumajang
Ciri-ciri yang menandai dari jual beli tersebut antara lain, jual beli tersebut serentak selesai dengan tercapainya persetujuan atau persesuaian kehendak atau konsensus yang diikuti dengan ikrar kontrak jual beli dihadapan Kepala Persekutuan hukum yang berwenang, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli.

Dalam hukum adat tentang jual beli tanah dikenal tiga macam yaitu :
  • a. Adol Plas (Jual Lepas)
Pada adol plas (jual lepas), pemilik tanah menyerahkan tanahnya untuk selama-lamanya kepada pihak lain (pembeli) dengan membayar sejumlah uang yang besar nya ditentukan atas dasar kesepakatan antara pemilik tanah dengan pihak lain (pembeli).
  • b. Adol Gadai (Jual Gadai)
Pada adol gadai (jual gadai), pemilik tanah pertanian (pembeli gadai) menyerahkan tanahnya untuk digarap kepada pihak lain (pemegang gadai) dengan menerima sejuamlah uang dari pihak lain (pemegang gadai) sebagai uang gadai dan tanah dapat kembali kepada pemiliknya apabila pemilik tanah menebus uang gadai.
  • c. Adol Tahunan (Jual Tahunan)
Pada adol tahunan (jual tahunan), pemilik tanah pertanian menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam beberapa kali masa panen kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan antar pemilik tanah dengan pembeli. Setelah beberapa kali masa panen sesuai kesepakatan kedua belah pihak, tanah pertanian diserahkan kembali kepada pemilik tanah.

Menurut Boedi Harsono pengertian jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (peyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli membayar harganya kepada penjual. Jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli itu masuk dalam hukum agraria atau hukum

Ruang lingkup pengertian jual beli tanah obyeknya terbatas hanya pada hak milik alas tanah. Dalam hukum positif yang mengatur hak-hak atas tanah, yang dapat menjadi Obyek jual beli tidak hanya terbatas pada hak milik, namun juga hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, maupun hak milik alas satuan rumah susun.

Sifat jual beli tanah berdasarkan konsep hukum adat menurut Effendi Perangin, adalah
  • a. Contant atau Tunai
Contant atau tunai, artinya harga tanah yang dibayar itu seluruhnya, tetapi bisa juga sebagian. Akan tetapi biarpun dibayar sebagian, menurut hukum dianggap telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada Saat yang bersamaan. Pada Saat itu, jual beli menurut hukum telah selesai. Sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai utang pembeli kepada bekas pemilik tanah (penjual) Hal ini berarti, jika kemudian pembeli tidak membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tanah tidak dapat membatalkan jual beli tanah tersebut. Penyelesaian pembayaran sisa harga
tersebut dilakukan menurut hukum perjanjian utang piutang.
  • b. Terang
Terang, artinya jual beli tanah tersebut di lakukan dihadapan Kepala Desa (Kepala Adat) yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi juga dalam kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa jual beli tanah tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku Jual beli tanah yang dilakukan dihadapan kepala desa (Kepala Adat) menjadi "terang" dan bukan perbuatan hukum yang "gelap Artinya pembeli mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang sebagai pemilik tanah yang baru dan mendapatkan perlindungan hukum jika pada kemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang mengangggap jual beli tanah tersebut tidak sah.
Sebagai perbandingan, berikut ini diuraikan tentang jual beli tanah menurut Burgerlijk Wetboek (B.W). Pengertian jual beli dimuat dalam Pasal 1457 B.W. yaitu suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan selanjutnya, dalam Pasal 1458 B.W. dinyatakan bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya para pihak mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. 

Khusus jual beli tanah pada masa berlakunya Hukum Agraria Kolonial diatur dalam Overschrijving Ordonnantie Stb. 1934 Nomor 27. Dalam perjanjian jual beli tanah menurut ketentuan tersebut terdapat dua perbuatan hukum, yaitu 
  • a. Perjanjian jual beli tanah yang dibuat dengan akta notaris atau akta di bawah tangan. Mengenai perjanjian jual beli pengaturannya termasuk hukum perjanjian yang merupakan bagian dari hukum perikatan dalam Buku 111 B.W. Pada saat dilakukan perjanjian jual beli belum terjadi pemindahan hak alas tanah dari penjual kepada pembeli.
  • b. Penyerahan yuridis (juridische levering) yang diselenggarakan dengan pembuatan akta balik nama yang dibuat Oleh atau dihadapan Kepala Kantor Pendaftaran Tanah selaku Overschrijvings Ambtenaar. Pemindahan hak milik atas tanah yang diperjualbelikan dari penjual kepada pembeli terjadi setelah dilakukannya penyerahan yuridis.
Berbeda dengan konsep jual beli menurut B.W. dan Overschrijving Ordonnantie Staatsblad Tahun 1934 Nomor 27 , pada jual beli tanah menurut hukum adat terdapat satu perbuatan hukum , yaitu hak atas tanah berpindah dari penjual kepada pembeli pada Saat dibayarnya harga tanah secara tunai (contant) Oleh pembeli kepada penjual. Menurut hukum adat jual beli tanah bukan merupakan perjanjian sebagaimana dimaksud pasal 1457 B.W, melainkan suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memindahkan hak alas tanah dari pemegang hak (penjual) kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang secara tunai (contant) dan dilakukan dihadapan Kepala Desa/Kepala Adat setempat sehingga bersifat terang. 

Dengan mengadopsi pengertian jual beli menurut Hukum Adat, maka dalam Hukum Tanah Nasional (vide UUPA) dinyatakan bahwa jual beli hak atas tanah adalah merupakan perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah untuk selama-lamanya Oleh pemegang haknya sebagai penjual kepada pihak lain sebagai pembeli, dan secara bersamaan pihak pembeli menyerahkan sejumlah uang yang disepakati Oleh kedua belah pihak sebagai harga kepada penjual. Pengertian ini adalah sesuai dengan unsur kontan yang terdapat dalam Hukum Adat. Sedangkan jika pada proses jual beli tersebut ternyata pihak pembeli belum membayar lunas seluruh harga tanah, maka kekurangannya dianggap sebagai hutang yang tunduk pada hukum hutang piutang.

Obyek dan Syarat-Syarat Jual Beli Hak Atas Tanah

Hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek jual beli adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara dengan ijin dari pejabat yang berwenang, dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Tidak semua hak atas tanah dapat dijadikan obyek jual beli. Hak atas tanah yang tidak dapat diperjualbelikan adalah hak pakai atas tanah negara yang diberikan untuk waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu. Misalnya, Hak Pakai yang dimiliki oleh lembaga/instansi Pemerintah, Perwakilan Negara Asing atau Badan/Organisasi Intemasional, dan Badan Sosial (Penjelasan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). 

Peralihan hak atas tanah dalam bentuk jual beli harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan tidak terpenuhi maka akan membawa konsekuensi pada legalitasjual beli hak atas tanah tersebut. Disamping itu apabila suatu perbuatan jual beli hak atas tanah tidak memenuhi syarat, juga dapat berkonsekuensi tidak dapat didaftarkannya peralihan hak atas tanah melalui jual beli tersebut. Untuk dapat melakukan transaksi jual beli hak atas tanah maka pemegang hak atas tanah harus mempunyai hak dan berwenang untuk menjual hak atas tanahnya dan pembeli juga harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak dari hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli. Syarat jual beli terdapat dua bentuk yaitu syarat materil dan syarat formil.

Syarat Materil

l. Syarat Penjual

  • a. Penjual adalah orang yang namanya tercantum dalam sertifikat atau alat bukti lainnya selain sertifikat.
  • b. Penjual harus sudah dewasa menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • c. Apabila penjual belum dewasa atau masih di bawah umur maka diwakili oleh walinya.
  • d. Apabila penjual berada di dalam pengampuan (curatele), maka untuk melakukan transaksi jual beli harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.
  • e. Apabila penjual diwakili oleh orang lain sebagai penerima kuasa, maka penerima kuasa menunjukan surat kuasa notaril atau surat kuasa otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.
  • f. Apabila hak atas tanah yang akan dijual merupakan harta bersama dalam perkawinan maka penjual harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari suami/istri yang dituangkan dalam akta jual beli.

2. Syarat Pembeli

  • a. Apabila obyek jual beli tersebut merupakan tanah Hak Milik, maka subyek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga negara Indonesia, bank pemerintahan, badan keagamaan, dan badan sosial.
  • b. Apabila obyek jual beli tersebut merupakan tanah Hak Guna Usaha, maka subyek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
  • c. Apabila obyek jual beli tanah tersebut merupakan tanah Hak Guna Bangunan, maka subyek yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
  • d. Apabila obyek jual beli tanah tersebut adalah merupakan Hak Pakai, maka pihak yang dapat membeli tanah adalah subyek Hak Pakai yang bersifat privat, yaitu perseorangan warga negara Indonesia, perseorangan warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indoneisa dan berkedudukan di Indonesia, dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Syarat Formil

Dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka syarat formil jual beli hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan atau dikualifikasikan sebagai akta otentik. Syarat bahwa jual beli harus dibuktikan dengan akta PPAT ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (l) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan :
"Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yanag dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku". 
Akta tanah PPAT berfungsi sebagai alat bukti telah terjadinya jual beli tanah. Jual beli tanah tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pendaftaran jual beli tanah itu hanya dapat/boleh dilakukan dengan akta PPA T sebagai buktinya.

Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah ini tidak mutlak harus dibuktikan dengan akta PPA T, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dapat mendaftar pemindahan haknya meskipun tidak dibuktikan dengan akta PPA T. Hal ini ditegasakan dalam Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan :
"Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas sebidang tanah Hak Milik, yang dilakukan diantara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Petanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftarkan pemindahan hak yang bersangkutan"
Atas dasar ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menunjukan bahwa untuk kepentingan pemindahan hak kepada Kantor Pertanahan, jual beli hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta PPAT. Namun dalam keadaan tertentu, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas tanah bidang tanah Hak Milik, jika para pihaknya (penjual dan pembeli) perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan.