Notaris Lumajang: "Keabsahan Akta Notaris Yang Menggunakan Cyber Notary Sebagai Akta Otentik"
Diupdate Tgl 03-02-2020
Analisis Penyelesaian Konflik Norma antara Pasal 15 dengan Pasal 16 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Notaris merupakan pejabat umum yang diangkat oleh negara untuk melaksanakan sebagian wewenang dari kekuasaan negara khusus membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata.Sebagaimana wewenang yang diberikan kepada notaris oleh negara merupakan wewenang atribusi yaitu wewenang yang diberikan langsung oleh Undang-undang Jabatan Notaris, maka jabatan notaris bukanlah jabatan struktural dalam organisasi pemerintahan.
Berkaitan dengan diangkatnya notaris sebagai pejabat umum, telah diatur tersendiri tentang pengangkatan dan pemberhentian notaris yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal tersebut telah tercantum dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014. Begitu juga mengenai persyaratan untuk dapat diangkat menjadi notaris, telah diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 yang berbunyi: Warga Negara Indonesia, Bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, Berumur paling sedikit 27 tahun, Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter dan psikiater, Berijasah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan, Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja pada kantor notaris dalam waktu 24 bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan, Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris dan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.Apabila semua syarat pengangkatan telah terpenuhi, seorang notaris sebelum menjalankan tugas jabatannya secara nyata harus mengucapkan janji dalam pembuatan akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum dibidang keperdataan saja.[1]
Berkaitan dengan kedua pendapat di atas, maka menurut pendapat penulis, pejabat umum adalah organ negara yang mendapatkan wewenang secara atribusi untuk melayani kepentingan masyarakat umum dalam membuat akta otentik yang berkaitan dengan tindakan hukum dibidang perdata.
Pejabat umum yang dituangkan dalam Pasal 1868 KUH Perdata belum dijabarkan secara jelas dan lengkap. Akan tetapi, dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dicantumkann bahwa notaris merupakan satu-satunya pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta otentik yang terkait dengan semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan minuta akta, memberikan grosse akta, salinan dan kutipan akta, semuanya sepanjang memberikan pembuatan akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain oleh peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan kewenangan, kewajiban dan larangan yang harus dijalankan oleh notaris seperti yang telah disebutkan di atas, antara Pasal 15 ayat (3) dan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomer 2 Tahun 2014 memiliki konflik norma, di mana dalam pasal 15 ayat (3) memberikan kewenangan lain kepada notaris. Kewenangan lain tersebut disebutkan dalam penjelasan pasal 15 ayat (3) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang. Sedangkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m menyatakan bahwa notaris harus membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kedua pasal di atas, penulis mencoba memaparkan konsep dan definisi cyber notary menurut para ahli. Profesor Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa istilah cyber notary muncul pada tahun 1994 yang dikeluarkan oleh The Information Security Committee of the American bar Association, komite ini menggambarkan bahwa ada suatu profesi yang mirip dengan notary public, akan tetapi dokumen yang dibuat dan yang ada pada profesi tersebut berbasis elektronik, hal mana profesi tersebut mempunyai fungsi untuk meningkatkan kepercayaan terhadap dokumen yang dibuat tersebut. Dalam lingkup ini, cyber notary mempunyai peran untuk mengotentifikasi dokumen yang berbasis elektronik, yang mana dari otentifikasi dokumen tersebut dapat di print out di manapun berada dan kapan saja. Cyber Notary juga mempunyai peran untuk memberikan kepastian kepada pihak-pihak yang berada di lain negara apakah di saat melakukan transaksi di suatu negara benar-benar atas kesadaran sendiri dan tanpa ada paksaan maupun ancaman agar menandatangani dokumen yang berbasis elektronik tersebut.[2]
Ada juga pendapat dari Theodore Sedwick yang merupakan manager dari Cyber Notary Project-US for International Business yang menyatan bahwa istilah cyber notary merupakan konsep yang digunakan dalam menggambarkan sesuatu dari fungsi notaris publik secara konvensional dan aplikasinya dalam pelaksanaan transaksi elektronik. Sehingga Cyber Notary dapat diibaratkan sebagai pengaman dalam pelaksanaan transaksi elektronik melalui internet melalui penerapan fungsi notaris publik secara konvensional yang berarti bahwa otentik secara otomatis atau elektronik dengan menggunakan infrastruktur umum yang ada dan memakai tanda tangan elektronik.[3]
Cyber Notary memiliki fungsi utama yaitu untuk melakukan sertifikasi dan autentifikasi dalam lalu linstas transaksi elektronik. Sertifikasi itu sendiri memiliki pengertian bahwa notaris mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai Certification Authority (trusted third party) sehingga notaris dapat mengeluarkan digital certificate kepada para pihak yang berkepentingan. Lain halnya dengan fungsi autentifikasi yang berkaitan dengan aspek hukum yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan transaksi elektronik.[4]
Berkaitan dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah cyber notary yang digunakan dalam tesis ini menunjuk pada seorang pejabat notaris sebagai pejabat umum yang diangkat secara resmi berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan kewenangannya yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 bukan merupakan Certification authority yang merupakan lembaga teknis non hukum yang prinsipnya mempunyai kesamaan dengan cyber notary.
Berdasarkan teori konflik norma dalam penulisan tesis ini, maka teori tersebut tidak dapat digunakan karena terjadinya konflik di antara Pasal 15 dan 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 merupakan dua pasal yang berada dalam satu undang-undang.Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 merupakan kewenangan yang diberikan notaris untuk melakukan sertifikasi transaksi secara cyber notary dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 telah sejalan dengan unsur-unsur keotentikan akta yang tercantum dalam pasal 1868 KUHPer. Cyber notary telah dilaksanakan oleh notaris seperti pelaksanaan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas yang mana aktanya merupakan jenis akta relaas. Hal ini dikarenakan dalam Undang-undang Perseroan Terbatas khususnya Pasal 77 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS melihat dan mendengar serta secara langsung berpartisipasi dalam rapat. Selain itu, penggunaan komputer dalam pembuatan akta dan pada saat proses pendaftaran badan hukum melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (sisminbakum) merupakan suatu tanda bahwa notaris di Indonesia sudah mulai menggunakan sistem komputer dan internet dalam pelaksaan tugas jabatannya. Sisminbankum itu sendiri adalah sutau sistem komputerisasi yang dibuat oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan sejumlah transaksi antara lain pelaporan wasiat, pendaftaran badan hukum dan pendaftaran untuk diangkat sebagai notaris itu sendiri.
Lain halnya dengan Akta Partij yang tidak memungkinkan untuk dilakukan dengan cara cyber notary. Hal ini dikarenakan notaris harus melihat dan mendengar secara langsung dalam pembacaan dan penandatanganan yang dilakukan oleh para pihak, saksi dan notaris itu sendiri (Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014). Akan tetapi, apabila dimungkinkan untuk membuat akta partij dengan cara cyber notary seperti yang telah dilakukan dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham, penulis menyimpulkan agar di akhir akta diberikan klausula bahwa pembacaan akta dan penandatanganannya dilakukan di lebih dari satu kota sesuai dengan tempat para pihak yang bersangkutan dengan cara menggunakan alat elektronik (teleconference atau videocall). Misalnya: Dibuat, ditandatangani dan diresmikan di Kota Malang dan Kota Surabaya melalui Teleconference, pada hari dan tanggal seperti tersebut pada permulaan akta ini.
Keterangan atau penjelasan para pihak atau hasil tanya jawab dengan para pihak dan bukti-bukti yang diberikan kepada notaris yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta notaris merupakan bahan dasar untuk membanguan struktur akta notaris. Beberapa hal yang dapat dijadikan dasar untuk membangun struktur notaris yaitu: latar belakang yang akan diperjanjikan, identifikasi para pihak/ subyek hukum, identifikasi obyek yang akan diperjanjikan, membuat kerangka akta dan merumuskan substansi akta yang berisi mengenai kedudukan para pihak, batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan menurut aturan hukum, hal-hal yang dibatasi dalam pelaksanaannya, pilihan hukum dan pilihan pengadilan, klausula penyelesaian sengketa dan kaitannya dengan akta lain (jika ada).[5]
Selanjutnya kebatalan atau ketidakabsahan dari suatu akta dalam kedudukannya sebagai akta otentik meliputi lima bagian yaitu:[6] Dapat dibatalkan, Batal demi hukum, Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, Dibatalkan oleh para pihak sendiri, dan dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas Praduga Sah. Alasan penulis agar akta partij juga dapat dilakukan dengan menggunakan cyber notary karena notaris yang merupakan pejabat publik mempunyai peran untuk membuat perjanjian perdata secara otentik sangat dibutuhkan apalagi memasuki era yang dinamakan sistem perdagangan bebas.
Ketentuan pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 memberikan pengertian mengenai dokumen elektronik yaitu setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan dan didengar melalui komputer atau sistem elektronik tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, atau simbol yang mempunyai makna dan dapat dipahami oleh orang yang mempu memahaminya. Dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU ITE.
Berkaitan dengan kewenangan lain yang diberikan kepada notaris yaitu untuk mensertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary, maka hasil print out dari sertifikasi tersebut dapat juga dikategorikan ke dalam dokumen elektronik. Hal mana dokumen elektronik tersebut juga harus memenuhi unsur-unsur dalam pasal 1868 KUH Perdata mengenai keotentikan akta.
Bentuk dan tata cara pembuatan akta notaris dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 38 undang-undang Nomor 2 Tahun 2016 di atas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kewenangan notaris untuk mensertifikasi transaksi dengan menggunakan cyber notary memiliki akibat bahwa akta tersebut sah untuk disebut sebagai akta otentik.
Adapaun terkait dengan pembacaan akta oleh notaris merupakan kewajiban dalam pembuatan akta otentik. Hal tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 sehingga pembacaan akta merupakan bagian dari verlijden atau peresmian dari pembacaan dan penandatanganan terhadap akta yang bersangkutan. Apabila akta tersebut dibuat oleh notaris, maka harus dibacakan pula oleh notaris yang bersangkutan bukan dibacakan oleh pihak ketiga, misalnya pegawai notaris.
Verlijden merupakan kata kerja yang diambil dari kata verleden yang diartikan sebagai telah dibuat. Kata terakhir ini berasal dari bahasa belanda kuno dan tidak dipakai lagi dalam bahasa sehari-hari dan hanya digunakan dalam bidang hukum khususnya di dunia notariat.[7]
Menurut G.H.S Lumban Tobing yang menyatakan bahwa apabila notaris sendiri melakukan pembacaan dari akta itu, para penghadap di satu pihak mempunyai jaminan jika mereka telah menandatangani apa yang mereka dengar sebelumnya (pembacaan yang dilakukan oleh notaris) dan di pihak lain para penghadap dan notaris memperoleh keyakinan jika akta itu benar-benar berisikan apa yang dikehendaki oleh para penghadap.[8]
Apabila pembacaan di atas dihubungkan dengan fungsi akta otentik dalam pembuktian, maka dapat dilihat jika dalam pembuatan akta notaris pembacaan akta merupakan hal yang wajib dilakukan oleh notaris dalam pelaksanaan tugas jabatannya.
Sependapat dengan hal tersebut di atas, menurut Tan Thong Kie bahwa pembacaan akta mempunyai manfaat, yang antara lain:
Jadi, kesimpulannya notaris tetap harus membacakan akta yang dibuatnya walaupun para pihak menghendaki untuk membaca akta yang bersangkutan agar akta tersebut tetap menjadi akta otentik atau tidak kehilangan keotentisitasnya karena tidak dibacakannya akta oleh notaris. Selain hal tersebut, dengan memperhatikan manfaat dari pembacaan akta maka notaris wajib membacakan akta yang dibuatnya karena jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Pembacaan akta itu sendiri merupakan salah satu dari wujud kepercayaan masyarakat yang diwakili oleh para pihak yang membuat akta.
Pejabat umum dalam hal ini notaris, dalam membuat akta harus memiliki kewenangan sesuai dengan yang telah dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, yaitu: 1. Notaris hanya berwenang membuat akta seperti yang telah ditentukan Undang-undang Jabatan Notaris, 2. Notaris hanya berwenang membuat akta sepanjang akta tersebut dibuat bukan untuk kepentingan sendiri, kawan kawin, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris, 3. Notaris hanya berwenang apabila melakukan praktek notaris diwilayah jabatannya.
Pembahasan mengenai mekanisme pembuatan akta notaris berdasarkan teori kewenangan yaitu:
Berdasarkan teori kewenangan dan teori keabsahan dalam aspek kewenangan, notaris mempunyai kewenangan atribusi, di mana notaris diberikan kewenangan langsung oleh undang-undang untuk membuat akta termasuk di dalamnya membacakan akta dan selama obyek dari perjanjian tersebut masih di dalam wilayah kerja notaris, maka notaris tetap mempunyai kewenangan untuk membuatkan akta sekalipun pembacaan dan penandatangan dengan menggunakan cyber notary dan akta tersebut tetap sah selama bentuk dari akta sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dan pasal 1868 KUH Perdata.
Berkaitan dengan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dan penjelasannya bahwa notaris mempunyai kewenangan lain yang salah satunya adalah mensertifikasi transaksi dengan menggunakan alat elektronik (cyber notary), hal mana sertifikasi itu sendiri tidak dijelaskan pengertiannya sehingga menimbulkan pengertian yang ambigu. Akan tetapi, Emma Nurita memberikan pengertian dari sertifikasi adalah prosedur dimana pihak ketiga memberikan jaminan tertulis bahwa suatu produk, proses atas jasa telah memenuhi standar tertentu, berdasarkan audit yang dilaksanakan dengan prosedur yang disepakati.[9]
Ketentuan dari pasal 1868 KUH Perdata yang di dalamnya mengatur akta otentik termasuk juga akta notaris, wajib dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang dan akta tersebut dibuat oleh atau dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang di tempat di mana akta itu dibuat, sehingga apabila akta yang dibuat tersebut telah sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dan pejabat umum yang membuat akta tersebut sesuai dengan kewenangannya maka akta tersebut dapat digolongkan sebagai akta otentik. Namun akan menjadi masalah apabila dalam proses pembacaan dan penandatangan aktanya menggunakan cyber notary atau dengan kata lain menggunakan alat-alat elektronik misalnya teleconfirence atau video call . Hal ini dikarenakan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 menyatakan bahwa pembacaan akta harus dilakukan di hadapan para penghadap dan paling sedikitdihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, dan dalam penjelasannya dinyatakan bahwaNotaris harus hadir secara fisik dan menandatangani Akta di hadapan penghadapdan saksi. Kata Hadir secara fisik, jika dijabarkan kata demi kata yaitu hadir dansecara fisik.Hadir artinya ada atau datang. [10] sedangkan kata fisik mempunyai arti badan/jasmani, sehingga maksud hadir secara fisik yaitu ada secara jasmanidengan kata lain berwujud atau terlihat secara fisik. Penjelasan tentang hadir secara fisik menimbulkan konflik norma dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2014, karena cyber notary sebagai bagian dari kemajuan teknologi dapat mempertemukan dua pihak atau lebih di tempat yang berbeda dengan fasilitas suara dan gambar yang senyatanya, sehingga bentuk wajah, suara dan keadaan nyata dapat terlihat.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba menganalisa mengenai sertifikasi yang dimaksudkan dalam penulisan tesis ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya notaris mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai pejabat publik bukan sebagai Certification Authority (trusted third party) namun notaris juga dapat mengeluarkan digital certificate kepada para pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain, notaris dapat mengeluarkan sertifikat secara elektronik dengan jaminan notaris tersebut dapat memberikan kepastian hukum kepada pihak yang bersangkutan. Akan tetapi, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pembacaan dan penandatanganan akta harus dilakukan di hadapan para penghadap dan para saksi. Ketentuan ini akhirnya membatasi kinerja notaris untuk lebih efektif, karena harusnya dalam menjalankan prakteknya notaris harus memanfaatkan teknologi yang ada agar mempermudah kinerjanya dan meningkatkan layanan jasa yang diberikan kepada masyarakat.
Hal ini berarti bahwa diperlukan adanya pembaharuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 khususnya yang berkaitan dengan proses pembuatan akta dalam arti yang seluasnya dan pembuatan akta secara cyber notary pada khususnya. Selain itu, diperlukan pula penjabaran pengertian tentang sertifikasi dengan menggunakan cyber notary atau pembuatan akta dengan menggunakan cyber notary sama dengan pembuatan akta notaris. Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan tugas jabatannya notaris dapat menggunakan kecanggihan teknologi tanpa harus melanggar undang-undang yang mengatur pelaksanaan tugas jabatannya dan undang-undang lain yang berkaitan dengan hal tersebut.
Adapun prosedur pembuatan akta notaris secara cyber notary menurut penulis mempunyai prosedur yang sama dengan pembuatan akta notaris yang telah dilaksanakan selama ini. Akan tetapi, yang membedakan dari kedua prosedur tersebut adalah dalam hal menghadap, di mana selama ini menghadap disini dilakukan dengan cara hadir secara fisik tetapi menghadap dalam kaitannya dengan cyber notary dilakukan dengan cara menggunakan alat-alat elektronik, misalnya teleconference atau video call.
Prosedur pembuatan akta notaris dengan menggunakan cyber notary adalah Para pihak hadir di hadapan notaris dengan menggunakan teleconference atau video call untuk menyampaikan maksud dan tujuan menghadap notaris dan menyampaikan akta yang akan dibuat, para pihak harus menunjukkan identitas mereka secara jelas kepada notaris dengan mengirimkan identitas mereka melalui alat elektronik misalnya faximile dan notaris mencocokkan identitas tersebut dengan orang yang berada dalam teleconference atau video call, setelah itu, notaris membuatkan akta sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang yang kemudian dibacakan di hadapan para pihak di mana dalam pembacaan akta tersebut baik notaris, saksi maupun para pihak menggunakan teleconference atau video call dalam waktu yang bersamaan, dan setelah selesai akta tersebut dibacakan dan dipahami oleh para pihak yang bersangkutan, akta tersebut ditandatangani oleh para pihak, saksi dan notaris dengan menggunakan tanda tangan digital.
Berkaitan dengan tanda tangan digital, tanda tangan tersebut membutuhkan 2 tahap yang dijelaskan sebagai berikut:[11] Pembentukan tanda tangan digital menggunakan semacam sidik jari yang dihasilkan dari dokumen dan kunci privat dan verifikasi tanda tangan digital yang merupakan suatu proses pengecekan tanda tangan digital dengan mereferensikan ke dokumen asli dan kunci publik yang telah diberikan, sehingga dengan demikian dapat ditentukan apakah tanda tangan digital tersebut dibuat untuk dokumen yang sama yang menggunakan kunci privat.
Apabila kedua proses tersebut telah terpenuhi maka suatu tanda tangan digital juga dapat memenuhi unsur yuridis seperti yang tertuang di dalam tanda tangan secara konvensional. Seseorang yang membubuhkan tanda tangan digitalnya dianggap mengakui semua yang ditulisnya dalam dokumen elektronik yang bersangkutan. Dengan demikian, tanda tangan digital mempunyai sifat “one signature document” yang mana apabila terjadi perubahan sedikit saja pada tulisan yang dikirim maka tanda tangan digitalnya juga akan berubah dan akan menjadi tidak valid lagi.
Berdasarkan teori kewenangan dalam aspek prosedur pembuatan akta notaris maka terhadap keabsahan dari sertifikasi transaksi menggunakan cyber notary yang dilakukan oleh notaris mempunyai 3 (tiga) kesimpulan, yaitu:
Arti perjanjian yang dimaksud adalah suatu hubungan hukum antara satu orang atau lebih yang menimbulkan hak dan kewajiban.[13] Misalnya: Perjanjian-perjanjian yang harus dibuat dengan menggunakan akta notaris, yaitu perjanjian perkawinan (Pasal 147 KUH Perdata), Hibah (Pasal 1682 KUH Perdata), Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan/ SKMHT (pasal 15 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan). Sedangkan perjanjian-perjanjian yang tidak diharuskan menggunakan akta notaris tetapi dikehendaki oleh para pihak, misalnya: perjanjian sewa menyewa, perjanjian kerja sama, dll.
Ketetapan itu sendiri yang dimaksudkan dalam pasal di atas adalah ketetapan yang dinyatakan dengan akta notaris dan diharuskan oleh undang-undang misalnya surat wasiat. Adapun ketetapan atas keinginan para pihak dan tidak diharuskan oleh undang-undang. Misalnya daftar calon pembeli yang memenuhi syarat untuk membeli aset yang dijual oleh BPN.
Berdasarkan uraian di atas, isi dari sertifikasi transaksi itu sendiri harus memuat perbuatan hukum, perjanjian dan ketetapan yang tidak dilarang oleh undang-undang. Mengenai perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain atau perbuatan yang melanggar hukum. Perbuatan yang dimaksud tunduk pada Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan tentang tanggung gugat yang harus berdasarkan kesalahan. Jadi, dalam pasal tersebut mensyaratkan adanya unsur kesalahan dan unsur kesalahan tersebut harus dibuktikan oleh pihak yang menderita kerugian. Sedangkan perbuatan melanggar hukum oleh notaris, tidak hanya perbuatan melanggar hukum saja, melainkan juga perbuatan yang melanggar peraturan lain di mana perbuatan tersebut berada dalam lapangan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat.[14]
Berkaitan dengan perjanjian yang merupakan isi dari akta notaris, notaris harus mengetahui perjanjian-perjanjian yang dilarang menurut undang-undang, salah satunya yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha. Di mana dalam undang-undang tersebut antara lain mengatur tentang Monopoli yang berarti bahwa penguasaan atas produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku usaha atau oleh suatu kelompok usaha (Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999). Jadi, isi dari akta notaris tidak boleh mengandung suatu hal yang dinamakan monopoli. Selain hal tersebut, perjanjian juga harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata. Jadi, apabila syarat 1 (satu) dan 2 (dua) tidak terpenuhi perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Begitu pula terhadap syarat 3 (tiga) dan 4 (empat) tidak terpenuhi maka dapat dibatalkan. Sehingga isi dari sertifikasi atas transaksi yang dilakukan oleh notaris juga harus memenuhi unsur-unsur perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Berdasarkan teori keabsahan dalam aspek substansi, isi dari sertifikasi itu sendiri tidak boleh mengandung perbuatan hukum yang dilarang, perjanjian yang dilarang dan juga harus memenuhi unsur-unsur 1320 KUH Perdata. Bukan hanya ketiga hal tersebut di atas, substansi itu sendiri juga meliputi bentuk dari sertifikasi transaksi itu sendiri. Di mana bentuk tersebut juga harus sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014. Apabila bentuk tersebut tidak sesuai, maka sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary menjadi tidak sah untuk dikategorikan sebagai akta otentik.
Selain itu, sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary belum memenuhi tujuan hukum yang antara lain dalam lingkup kepastian hukum, manfaat dan keadilan. Kepastian hukum dalam hal ini belum terpenuhi karena belum adanya pengaturan secara jelas mengenai kewenangan lainnya yang diberikan kepada notaris. Hal ini dapat menyebabkan adanya pelanggaran hukum terhadap undang-undang lainnya yang memiliki kaitan dengan undang-undang jabatan notaris.
Mengenai manfaat hukum terkait sertifikasi yang dilakukan dengan menggunakan cyber notary dirasakan sudah memberikan manfaat dalam pelaksanaan jabatan notaris. Hal ini dikarenakan, pelaksanaan pembuatan akta notaris dengan menggunakan cyber notary dapat memberikan kemudahan bagi para pihak yang berkepentingan dan juga bagi notaris sendiri. Bagi para pihak yang tidak bisa hadir untuk menghadap notaris karena berada di luar kota atau karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, maka pihak tersebut secara sepakat dapat menggunakan media elektronik untuk menyatakan kehendaknya kepada notaris agar dituangkan dalam akta.
Berkaitan dengan keadilan, sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary belum mencapai keadilan. Keadilan menurut Hans Kelsen merupakan tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan di dalamnya. Dikaitkan dengan sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary, hasil dari sertifikasi tersebut belum memberikan keadilan baik bagi para pihak yang bersangkutan maupun bagi notaris. Hal ini dikarenakan belum adanya kepastian hukum apakah hasil dari sertifikasi transaksi tersebut merupakan akta otentik atau bukan.
Manfaat yang diberikan oleh akta otentik dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1870 KUH Perdata yang menyatakan bahwa akta otentik memberikan kekuatan bukti lengkap dan mengikat bagi para pihak, ahli warisnya dan penerima haknya mengenai apa yang dimuat dalam aktatersebut. Selanjutnya dalam kaitannya dengan akta notaris, maka fungsi akta bagi para pihak yang berkepentingan adalah: a. Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum, b. Sebagai alat pembuktian, dan c. Sebagai alat pembuktian satu-satunya. [15]
Berdasarkan Pasal 1867 KUH Perdata menentukan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik, maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. Jadi, akta sebagai bukti (bentuk) terdiri dari akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan merupakan akta yang ditandatangani, seperti surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum (Pasal 1874 KUH Perdata). Jadi, akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat oleh para pihak sendiri dan tidak dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta yang oleh para pihak dipergunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu perbuatan hukum. Dengan demikian kekuatan pembuktian akta tersebut hanya sebatas pihak-pihak yang membuatnya saja. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Berdasarkan uraian terdahulu, maka penulis memberikan kesimpulan bahwa sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary tetap sah selama memenuhi unsur-unsur otentisitas akta dan bentuk akta yang telah diatur dalam undang-undang yang berkaitan dengan jabatan notaris. Akan tetapi, tidak semua kewajiban dan kewenangan notaris tersebut dapat dilaksanakan dengan menggunakan cyber notary. Misalnya kewenangan notaris untuk membuat surat di bawah tangan yang disahkan.
Selanjutnya kebatalan atau ketidakabsahan dari suatu akta dalam kedudukannya sebagai akta otentik meliputi lima bagian yaitu:[6] Dapat dibatalkan, Batal demi hukum, Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, Dibatalkan oleh para pihak sendiri, dan dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas Praduga Sah. Alasan penulis agar akta partij juga dapat dilakukan dengan menggunakan cyber notary karena notaris yang merupakan pejabat publik mempunyai peran untuk membuat perjanjian perdata secara otentik sangat dibutuhkan apalagi memasuki era yang dinamakan sistem perdagangan bebas.
Ketentuan pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 memberikan pengertian mengenai dokumen elektronik yaitu setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan dan didengar melalui komputer atau sistem elektronik tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, atau simbol yang mempunyai makna dan dapat dipahami oleh orang yang mempu memahaminya. Dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU ITE.
Berkaitan dengan kewenangan lain yang diberikan kepada notaris yaitu untuk mensertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary, maka hasil print out dari sertifikasi tersebut dapat juga dikategorikan ke dalam dokumen elektronik. Hal mana dokumen elektronik tersebut juga harus memenuhi unsur-unsur dalam pasal 1868 KUH Perdata mengenai keotentikan akta.
Sertifikasi Transaksi secara cyber notary sah atau tidak sebagai akta otentik
Tahapan dalam pembuatan akta secara konvensional, yakni sebagai berikut:- a) Para penghadap/ pihak mendatangi kantor notaris kemudian menghadap kepada notaris dengan tujuan untuk menyampaikan keinginan mereka agar dituangkan dalam akta notaris,
- b) Setelah notaris mendengarkan maksud dan tujuan para pihak, maka notaris harus bisa mengambil perbuatan hukum apa yang dinginkan oleh para pihak sekaligus memberikan penyuluhan hukum mengenai akta yang akan dibuat apakah telah sesuai dengan undang-undang atau tidak,
- c) Setelah notaris mengetahui perbuatan hukum yang diinginkan oleh para pihak, selanjutnya notaris membuat akta dengan bentuk dan cara yang telah tercantum dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014.
Bentuk dan tata cara pembuatan akta notaris dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 38 undang-undang Nomor 2 Tahun 2016 di atas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kewenangan notaris untuk mensertifikasi transaksi dengan menggunakan cyber notary memiliki akibat bahwa akta tersebut sah untuk disebut sebagai akta otentik.
Adapaun terkait dengan pembacaan akta oleh notaris merupakan kewajiban dalam pembuatan akta otentik. Hal tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 sehingga pembacaan akta merupakan bagian dari verlijden atau peresmian dari pembacaan dan penandatanganan terhadap akta yang bersangkutan. Apabila akta tersebut dibuat oleh notaris, maka harus dibacakan pula oleh notaris yang bersangkutan bukan dibacakan oleh pihak ketiga, misalnya pegawai notaris.
Verlijden merupakan kata kerja yang diambil dari kata verleden yang diartikan sebagai telah dibuat. Kata terakhir ini berasal dari bahasa belanda kuno dan tidak dipakai lagi dalam bahasa sehari-hari dan hanya digunakan dalam bidang hukum khususnya di dunia notariat.[7]
Menurut G.H.S Lumban Tobing yang menyatakan bahwa apabila notaris sendiri melakukan pembacaan dari akta itu, para penghadap di satu pihak mempunyai jaminan jika mereka telah menandatangani apa yang mereka dengar sebelumnya (pembacaan yang dilakukan oleh notaris) dan di pihak lain para penghadap dan notaris memperoleh keyakinan jika akta itu benar-benar berisikan apa yang dikehendaki oleh para penghadap.[8]
Apabila pembacaan di atas dihubungkan dengan fungsi akta otentik dalam pembuktian, maka dapat dilihat jika dalam pembuatan akta notaris pembacaan akta merupakan hal yang wajib dilakukan oleh notaris dalam pelaksanaan tugas jabatannya.
Sependapat dengan hal tersebut di atas, menurut Tan Thong Kie bahwa pembacaan akta mempunyai manfaat, yang antara lain:
- a. Pada saat peresmian (verlijden) akta akan berakhir, masih ada kesempatan bagi notaris untuk memperbaiki kesalahan dalam penulisan kata/ kalimat yang sebelumnya tidak tampak karena bisa saja terjadi adanya kesalahan fatal atau yang memalukan,
- b. Para penghadap diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan yang kurang jelas atau kurang dimengerti dari isi akta yang ditulis/ dibacakan,
- c. Notaris dan para penghadap mempunyai kesempatan pada detik-detik terakhir sebelum akta tersebut selesai di tanda tangani oleh para penghadap, para saksi, dan Notaris untuk mengadakan pemikiran ulang mengenai isi akta, bertanya maupun mengubah isi akta.
“Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan”Adanya Pasal 16 ayat (7) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014, dapat mengakibatkan persepsi berbeda di mana tidak ada keharusan bagi notaris untuk melakukan pembacaan akta dikarenakan akta tersebut dibaca sendiri oleh para pihak atas kehendak/keinginan para pihak itu sediri. Tetapi hal tersebut telah di jelaskan lagi dalam pasal 16 ayat (8) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 bahwa walaupun para pihak menghendaki aktanya dibaca sendiri, notaris tetap mempunyai kewajiban untuk membacakan kepala Akta, komparasi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan jelas, serta penutup Akta.
Jadi, kesimpulannya notaris tetap harus membacakan akta yang dibuatnya walaupun para pihak menghendaki untuk membaca akta yang bersangkutan agar akta tersebut tetap menjadi akta otentik atau tidak kehilangan keotentisitasnya karena tidak dibacakannya akta oleh notaris. Selain hal tersebut, dengan memperhatikan manfaat dari pembacaan akta maka notaris wajib membacakan akta yang dibuatnya karena jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Pembacaan akta itu sendiri merupakan salah satu dari wujud kepercayaan masyarakat yang diwakili oleh para pihak yang membuat akta.
Pejabat umum dalam hal ini notaris, dalam membuat akta harus memiliki kewenangan sesuai dengan yang telah dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, yaitu: 1. Notaris hanya berwenang membuat akta seperti yang telah ditentukan Undang-undang Jabatan Notaris, 2. Notaris hanya berwenang membuat akta sepanjang akta tersebut dibuat bukan untuk kepentingan sendiri, kawan kawin, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris, 3. Notaris hanya berwenang apabila melakukan praktek notaris diwilayah jabatannya.
Pembahasan mengenai mekanisme pembuatan akta notaris berdasarkan teori kewenangan yaitu:
- Pihak penghadap datang dan hadir dihadapan notaris dan menyampaikan maksud para pihak untuk membuat kesepakatan dalam bentuk tertulis dan memiliki kekuatan hukum,
- Setelah notaris mendengarkan kehendak dan keinginan para pihak, maka akan ditentukan apakah akta yang dibuat adalah akta relaas atau akta partij,
- Notaris membuat akta sesuai dengan ketentuan pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dan
- Setelah akta selesai dibuat maka diakhiri dengan pembacaan dan penandatanganan akta di hadapan saksi-saksi oleh para penghadap, saksi dan juga notaris.
Berdasarkan teori kewenangan dan teori keabsahan dalam aspek kewenangan, notaris mempunyai kewenangan atribusi, di mana notaris diberikan kewenangan langsung oleh undang-undang untuk membuat akta termasuk di dalamnya membacakan akta dan selama obyek dari perjanjian tersebut masih di dalam wilayah kerja notaris, maka notaris tetap mempunyai kewenangan untuk membuatkan akta sekalipun pembacaan dan penandatangan dengan menggunakan cyber notary dan akta tersebut tetap sah selama bentuk dari akta sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dan pasal 1868 KUH Perdata.
Berkaitan dengan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dan penjelasannya bahwa notaris mempunyai kewenangan lain yang salah satunya adalah mensertifikasi transaksi dengan menggunakan alat elektronik (cyber notary), hal mana sertifikasi itu sendiri tidak dijelaskan pengertiannya sehingga menimbulkan pengertian yang ambigu. Akan tetapi, Emma Nurita memberikan pengertian dari sertifikasi adalah prosedur dimana pihak ketiga memberikan jaminan tertulis bahwa suatu produk, proses atas jasa telah memenuhi standar tertentu, berdasarkan audit yang dilaksanakan dengan prosedur yang disepakati.[9]
Ketentuan dari pasal 1868 KUH Perdata yang di dalamnya mengatur akta otentik termasuk juga akta notaris, wajib dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang dan akta tersebut dibuat oleh atau dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang di tempat di mana akta itu dibuat, sehingga apabila akta yang dibuat tersebut telah sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dan pejabat umum yang membuat akta tersebut sesuai dengan kewenangannya maka akta tersebut dapat digolongkan sebagai akta otentik. Namun akan menjadi masalah apabila dalam proses pembacaan dan penandatangan aktanya menggunakan cyber notary atau dengan kata lain menggunakan alat-alat elektronik misalnya teleconfirence atau video call . Hal ini dikarenakan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 menyatakan bahwa pembacaan akta harus dilakukan di hadapan para penghadap dan paling sedikitdihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, dan dalam penjelasannya dinyatakan bahwaNotaris harus hadir secara fisik dan menandatangani Akta di hadapan penghadapdan saksi. Kata Hadir secara fisik, jika dijabarkan kata demi kata yaitu hadir dansecara fisik.Hadir artinya ada atau datang. [10] sedangkan kata fisik mempunyai arti badan/jasmani, sehingga maksud hadir secara fisik yaitu ada secara jasmanidengan kata lain berwujud atau terlihat secara fisik. Penjelasan tentang hadir secara fisik menimbulkan konflik norma dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2014, karena cyber notary sebagai bagian dari kemajuan teknologi dapat mempertemukan dua pihak atau lebih di tempat yang berbeda dengan fasilitas suara dan gambar yang senyatanya, sehingga bentuk wajah, suara dan keadaan nyata dapat terlihat.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba menganalisa mengenai sertifikasi yang dimaksudkan dalam penulisan tesis ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya notaris mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai pejabat publik bukan sebagai Certification Authority (trusted third party) namun notaris juga dapat mengeluarkan digital certificate kepada para pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain, notaris dapat mengeluarkan sertifikat secara elektronik dengan jaminan notaris tersebut dapat memberikan kepastian hukum kepada pihak yang bersangkutan. Akan tetapi, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pembacaan dan penandatanganan akta harus dilakukan di hadapan para penghadap dan para saksi. Ketentuan ini akhirnya membatasi kinerja notaris untuk lebih efektif, karena harusnya dalam menjalankan prakteknya notaris harus memanfaatkan teknologi yang ada agar mempermudah kinerjanya dan meningkatkan layanan jasa yang diberikan kepada masyarakat.
Hal ini berarti bahwa diperlukan adanya pembaharuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 khususnya yang berkaitan dengan proses pembuatan akta dalam arti yang seluasnya dan pembuatan akta secara cyber notary pada khususnya. Selain itu, diperlukan pula penjabaran pengertian tentang sertifikasi dengan menggunakan cyber notary atau pembuatan akta dengan menggunakan cyber notary sama dengan pembuatan akta notaris. Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan tugas jabatannya notaris dapat menggunakan kecanggihan teknologi tanpa harus melanggar undang-undang yang mengatur pelaksanaan tugas jabatannya dan undang-undang lain yang berkaitan dengan hal tersebut.
Adapun prosedur pembuatan akta notaris secara cyber notary menurut penulis mempunyai prosedur yang sama dengan pembuatan akta notaris yang telah dilaksanakan selama ini. Akan tetapi, yang membedakan dari kedua prosedur tersebut adalah dalam hal menghadap, di mana selama ini menghadap disini dilakukan dengan cara hadir secara fisik tetapi menghadap dalam kaitannya dengan cyber notary dilakukan dengan cara menggunakan alat-alat elektronik, misalnya teleconference atau video call.
Prosedur pembuatan akta notaris dengan menggunakan cyber notary adalah Para pihak hadir di hadapan notaris dengan menggunakan teleconference atau video call untuk menyampaikan maksud dan tujuan menghadap notaris dan menyampaikan akta yang akan dibuat, para pihak harus menunjukkan identitas mereka secara jelas kepada notaris dengan mengirimkan identitas mereka melalui alat elektronik misalnya faximile dan notaris mencocokkan identitas tersebut dengan orang yang berada dalam teleconference atau video call, setelah itu, notaris membuatkan akta sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang yang kemudian dibacakan di hadapan para pihak di mana dalam pembacaan akta tersebut baik notaris, saksi maupun para pihak menggunakan teleconference atau video call dalam waktu yang bersamaan, dan setelah selesai akta tersebut dibacakan dan dipahami oleh para pihak yang bersangkutan, akta tersebut ditandatangani oleh para pihak, saksi dan notaris dengan menggunakan tanda tangan digital.
Berkaitan dengan tanda tangan digital, tanda tangan tersebut membutuhkan 2 tahap yang dijelaskan sebagai berikut:[11] Pembentukan tanda tangan digital menggunakan semacam sidik jari yang dihasilkan dari dokumen dan kunci privat dan verifikasi tanda tangan digital yang merupakan suatu proses pengecekan tanda tangan digital dengan mereferensikan ke dokumen asli dan kunci publik yang telah diberikan, sehingga dengan demikian dapat ditentukan apakah tanda tangan digital tersebut dibuat untuk dokumen yang sama yang menggunakan kunci privat.
Apabila kedua proses tersebut telah terpenuhi maka suatu tanda tangan digital juga dapat memenuhi unsur yuridis seperti yang tertuang di dalam tanda tangan secara konvensional. Seseorang yang membubuhkan tanda tangan digitalnya dianggap mengakui semua yang ditulisnya dalam dokumen elektronik yang bersangkutan. Dengan demikian, tanda tangan digital mempunyai sifat “one signature document” yang mana apabila terjadi perubahan sedikit saja pada tulisan yang dikirim maka tanda tangan digitalnya juga akan berubah dan akan menjadi tidak valid lagi.
Berdasarkan teori kewenangan dalam aspek prosedur pembuatan akta notaris maka terhadap keabsahan dari sertifikasi transaksi menggunakan cyber notary yang dilakukan oleh notaris mempunyai 3 (tiga) kesimpulan, yaitu:
- 1. Akta notaris sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 yaitu Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini,
- 2. Apabila sertifikasi yang tercantum dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 disamakan dengan surat di bawah tangan yang disahkan oleh notaris (legalisasi), maka sertifikasi yang dimaksud bukanlah akta otentik. Hal ini dikarenakan dalam legalisasi, notaris harus memberikan kepastian tanggal dan tanda tangan para pihak/ penghadap, dengan kata lain surat di bawah tangan dibuat sendiri oleh para pihak tetapi surat tersebut harus dibacakan dan ditanda tangani di hadapan notaris maupun para pihak. Dihadapan di sini diartikan hadir secara fisik bukan melalui alat elektronik. Sehingga notaris mempunyai tanggung jawab untuk memberikan kepastian tanggal dan tanda tangan yang dilakukan oleh para pihak/ penghadap dan
- 3. sedangkan jika sertifikasi memiliki arti yang sama dengan surat di bawah tangan yang didaftar oleh notaris (warmeking). Apabila memang hal ini yang dimaksudkan maka sertifikasi itu sendiri bukanlah akta otentik sehingga walaupun dilakukan dengan menggunakan cyber notary tidak akan menimbulkan masalah karena notaris tidak memiliki tanggung jawab baik terhadap kepastian tanggal, waktu maupun isinya serta bentuk dari surat yang dibuat oleh para pihak/ penghadap.
Arti perjanjian yang dimaksud adalah suatu hubungan hukum antara satu orang atau lebih yang menimbulkan hak dan kewajiban.[13] Misalnya: Perjanjian-perjanjian yang harus dibuat dengan menggunakan akta notaris, yaitu perjanjian perkawinan (Pasal 147 KUH Perdata), Hibah (Pasal 1682 KUH Perdata), Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan/ SKMHT (pasal 15 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan). Sedangkan perjanjian-perjanjian yang tidak diharuskan menggunakan akta notaris tetapi dikehendaki oleh para pihak, misalnya: perjanjian sewa menyewa, perjanjian kerja sama, dll.
Ketetapan itu sendiri yang dimaksudkan dalam pasal di atas adalah ketetapan yang dinyatakan dengan akta notaris dan diharuskan oleh undang-undang misalnya surat wasiat. Adapun ketetapan atas keinginan para pihak dan tidak diharuskan oleh undang-undang. Misalnya daftar calon pembeli yang memenuhi syarat untuk membeli aset yang dijual oleh BPN.
Berdasarkan uraian di atas, isi dari sertifikasi transaksi itu sendiri harus memuat perbuatan hukum, perjanjian dan ketetapan yang tidak dilarang oleh undang-undang. Mengenai perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain atau perbuatan yang melanggar hukum. Perbuatan yang dimaksud tunduk pada Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan tentang tanggung gugat yang harus berdasarkan kesalahan. Jadi, dalam pasal tersebut mensyaratkan adanya unsur kesalahan dan unsur kesalahan tersebut harus dibuktikan oleh pihak yang menderita kerugian. Sedangkan perbuatan melanggar hukum oleh notaris, tidak hanya perbuatan melanggar hukum saja, melainkan juga perbuatan yang melanggar peraturan lain di mana perbuatan tersebut berada dalam lapangan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat.[14]
Berkaitan dengan perjanjian yang merupakan isi dari akta notaris, notaris harus mengetahui perjanjian-perjanjian yang dilarang menurut undang-undang, salah satunya yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha. Di mana dalam undang-undang tersebut antara lain mengatur tentang Monopoli yang berarti bahwa penguasaan atas produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku usaha atau oleh suatu kelompok usaha (Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999). Jadi, isi dari akta notaris tidak boleh mengandung suatu hal yang dinamakan monopoli. Selain hal tersebut, perjanjian juga harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata. Jadi, apabila syarat 1 (satu) dan 2 (dua) tidak terpenuhi perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Begitu pula terhadap syarat 3 (tiga) dan 4 (empat) tidak terpenuhi maka dapat dibatalkan. Sehingga isi dari sertifikasi atas transaksi yang dilakukan oleh notaris juga harus memenuhi unsur-unsur perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Berdasarkan teori keabsahan dalam aspek substansi, isi dari sertifikasi itu sendiri tidak boleh mengandung perbuatan hukum yang dilarang, perjanjian yang dilarang dan juga harus memenuhi unsur-unsur 1320 KUH Perdata. Bukan hanya ketiga hal tersebut di atas, substansi itu sendiri juga meliputi bentuk dari sertifikasi transaksi itu sendiri. Di mana bentuk tersebut juga harus sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014. Apabila bentuk tersebut tidak sesuai, maka sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary menjadi tidak sah untuk dikategorikan sebagai akta otentik.
Selain itu, sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary belum memenuhi tujuan hukum yang antara lain dalam lingkup kepastian hukum, manfaat dan keadilan. Kepastian hukum dalam hal ini belum terpenuhi karena belum adanya pengaturan secara jelas mengenai kewenangan lainnya yang diberikan kepada notaris. Hal ini dapat menyebabkan adanya pelanggaran hukum terhadap undang-undang lainnya yang memiliki kaitan dengan undang-undang jabatan notaris.
Mengenai manfaat hukum terkait sertifikasi yang dilakukan dengan menggunakan cyber notary dirasakan sudah memberikan manfaat dalam pelaksanaan jabatan notaris. Hal ini dikarenakan, pelaksanaan pembuatan akta notaris dengan menggunakan cyber notary dapat memberikan kemudahan bagi para pihak yang berkepentingan dan juga bagi notaris sendiri. Bagi para pihak yang tidak bisa hadir untuk menghadap notaris karena berada di luar kota atau karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, maka pihak tersebut secara sepakat dapat menggunakan media elektronik untuk menyatakan kehendaknya kepada notaris agar dituangkan dalam akta.
Berkaitan dengan keadilan, sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary belum mencapai keadilan. Keadilan menurut Hans Kelsen merupakan tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan di dalamnya. Dikaitkan dengan sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary, hasil dari sertifikasi tersebut belum memberikan keadilan baik bagi para pihak yang bersangkutan maupun bagi notaris. Hal ini dikarenakan belum adanya kepastian hukum apakah hasil dari sertifikasi transaksi tersebut merupakan akta otentik atau bukan.
Manfaat yang diberikan oleh akta otentik dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1870 KUH Perdata yang menyatakan bahwa akta otentik memberikan kekuatan bukti lengkap dan mengikat bagi para pihak, ahli warisnya dan penerima haknya mengenai apa yang dimuat dalam aktatersebut. Selanjutnya dalam kaitannya dengan akta notaris, maka fungsi akta bagi para pihak yang berkepentingan adalah: a. Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum, b. Sebagai alat pembuktian, dan c. Sebagai alat pembuktian satu-satunya. [15]
Berdasarkan Pasal 1867 KUH Perdata menentukan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik, maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. Jadi, akta sebagai bukti (bentuk) terdiri dari akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan merupakan akta yang ditandatangani, seperti surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum (Pasal 1874 KUH Perdata). Jadi, akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat oleh para pihak sendiri dan tidak dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta yang oleh para pihak dipergunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu perbuatan hukum. Dengan demikian kekuatan pembuktian akta tersebut hanya sebatas pihak-pihak yang membuatnya saja. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Berdasarkan uraian terdahulu, maka penulis memberikan kesimpulan bahwa sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary tetap sah selama memenuhi unsur-unsur otentisitas akta dan bentuk akta yang telah diatur dalam undang-undang yang berkaitan dengan jabatan notaris. Akan tetapi, tidak semua kewajiban dan kewenangan notaris tersebut dapat dilaksanakan dengan menggunakan cyber notary. Misalnya kewenangan notaris untuk membuat surat di bawah tangan yang disahkan.
Kesimpulan
Konflik norma antara Pasal 15 ayat (3) dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dapat diselesaikan dengan tetap menggunakan Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dan juga dapat membuat akta notaris pada umumnya sepanjang pelaksanaan pasal tersebut sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruf m dan Pasal 38 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 serta juga harus memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang merupakan syarat otentisitas akta. Hal ini dikarenakan dalam satu undang-undang dilarang untuk mengenyampingkan pasal yang lainnya dan sertifikasi transaksi yang menggunakan cyber notary adalah sah karena telah diatur dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 yang memberikan kewenangan kepada notaris untuk melakukan sertifikasi transaksi secara cyber notary dengan tetap memperhatikan unsur-unsur akta otentik.
=====================================================
Footnote;
- [1] N. G. Yudara, Notaris dan Permasalahannya pokok-pokok Pemikiran di Seputar Kedudukan dan Fungsi Notaris serta Akta Notaris menurut Sistem hukum Indonesia,Makalah yang disampaikan dalam Kongres INI di Jakarta, Jakarta: Januari 2015.
- [2] Hikmawanto Juwana, disampaikan dalam acara Seminar Cyber Notary, Tantangan Bagi Notaris Indonesia,Grand sahid jaya Hotel,Jakarta, 2011.
- [3] Theodore Sedwick Barassi, The Cyber Notary: Public Key Registration and Certification and Authentication of International Legal Transactions,http://www.abanet.org/sgitech/ec/en/cybernote.html, diakses 5 Januari 2016 pukul 09.00 WIB.
- [4] Agung Fajar Matra, Penerapan Cyber Notary di Indonesia Ditinjau dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,Tesis,Depok, 2012, hlm. 58.
- [5] Habib Adjie (I), Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris,Refika Aditama, Bandung, 2011,hlm.37.
- [6] Habib Adjie, Op.cit.,hlm.81.
- [7] Tan Thong Kie, Serba Serbi Ilmu Kenotariatan, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 11.
- [8] G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1996, hlm. 201.
- [9] Theodore Sedwick Barassi, Loc.cit.
- [10] R.Soeroso, Perjanjian Di bawah Tangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 24.
- [11] Agung Fajar Matra, Op.cit., hlm. 54.
- [12] Sjaifurrachman, Op. cit., hlm. 78.
- [13] Ibid., hlm. 79.
- [14] R. Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 6.
- [15] Pitlo, Op.cit., hlm. 156.