Pengertian dan Peran PPAT dalam Pendaftaran Tanah
Lokasi Penulisan Notaris Klakah Lumajang
Call Center: 081338999229
Notaris Lumajang menguraikan Pengertian, Latar
Historis, Tujuan, Obyek, Asas, dan peran PPAT dalam Pendaftaran Tanah
Pengertian Pendaftaran Tanah
Secara terminologi pendaftaran
tanah berasal dari kata cadastre, suatu istilah teknis untuk
suatu record atau rekaman,
menunjukkan kepada luas,
nilai, dan kepemilikan terhadap
suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa Latin yaitu capistratum yang
berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah
Romawi.
Cadastre berarti record pada lahan-lahan,
atau nilai dari tanah
dan pemegang haknya
dan untuk kepentingan
perpajakan.
Cadastre dapat diartikan sebagai
alat yang tepat
untuk memberikan suatu
uraian dan identifikasi tersebut dan sebagai rekaman
berkesinambungan dari hak atas tanah.[1]
Sedangkan menurut Boedi
Harsono pendaftaran tanah
adalah suatu rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh
Negara/Pemerintah secara terus
menerus dan teratur,
berupa pengumpulan
keterangan atau data
tertentu mengenai tanah-tanah
tertentu yang ada di
wilayah-wilayah tertentu, pengolahan,
penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan
rakyat, dalam rangka
memberikan jaminan kepastian
hukum di bidang pertanahan,
termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.[2]
Pada prinsipnya
pendapat tersebut sejalan
dengan pengertian pendaftaran tanah menurut Pasal 1 angka 1 PP
No.24 Tahun 1997 yakni :
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”
Latar Historis Pendaftaran Tanah Di Indonesia
Indonesia memiliki
sejarah panjang dalam
urusan pertanahan, termasuk dalam perkembangan pendaftaran tanah
yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di
zamannya. Perjalanan sejarah
itu sering dibagi
dalam beberapa fase
atau babakan zaman, diantaranya adalah sebagai berikut :
- a. Pendaftaran Tanah Era Sebelum Penjajahan
Di Indonesia, tidak ditemukan dokumen yang menjelaskan telah diselenggarakannya pendaftaran
tanah sebelum zaman penjajahan. Hal ini dipahami karena
hukum yang berlaku
pada saat itu
adalah hukum tanah
adat, merupakan hukum tidak
tertulis dan sejak semula berlaku dikalangan
masyarakat asli Indonesia sebelum datangnya bangsa-bangsa
Portugis, Belanda, Inggris dan sebagainya.3 Hak-hak
atas tanah yang
dipunyai oleh masyarakat
persekutuan hukum adat berdasarkan
hukum adat, baik
dalam bentuk hak
bersama bersifat komunal (hak
ulayat) maupun hak
perseorangan (hak milik
adat). Bagi yang mengusahakannya
akan selalu membuat
tanda sebatas mana tanah itu dapat
diusahakannya, dan inilah
akhirnya yang disebut
hak kepemilikan komunal. Semakin lama
atas pertambahan keluarga
dengan berbagai kepentingannya terhadap tanah,
lalu tanah yang
komunal tadi ter-individualisasi menjadi
hak individu dari seorang
warga desa. Terhadap
tanah yang tidak
diusahakan tetap menjadi
kepemilikan bersama yang
sifat kepemilikannya (publiekrechtelijke) dan yang terakhir diberi nama
menjadi tanah ulayat.[4]
Hak-hak atas
tanah yang timbul
dari proses yang
secara terus menerus dikerjakan oleh masyarakat, lalu
dilegalkan penguasa kampung atau Kepala Desa dengan pengakuan
tanpa surat, sehingga
terakhir lahir hubungan
kepemilikan yang diakui oleh
masyarakat sekawasan dan
resmi menjadi milik
seseorang dan atau masyarakat
dalam lingkungan adat
tersebut. Inilah yang
kemudian diakui sebagai hak-hak
atas tanah yang lahir karena ketentuan hukum adat. Peristiwa ini dibenarkan oleh
AP. Parlindungan, bahwa sekalipun ada tatanan hukum adat yang mengatur mengenai
pemberian hak atas
tanah menurut adat
setempat, namun belum menemukan
korelasi dari pemberian
hak menurut hukum
adat dengan pendaftaran hak
tersebut.[5]
Kemudian dalam
menentukan batas-batas tanah
digunakan ukuran-ukuran tertentu
yang pada saat itu sudah dikenal dan diakui oleh masyarakat, seperti depa, langkah
dan sebagainya, namun itu juga belum akurat. Selain itu surat-surat tanah tersebut belum
tersimpan dengan baik,
biasanya cukup disimpan
oleh Kepala Desa setempat dan ada
kecenderungan bila Kepala Desa
meninggal, maka semua surat dan
dokumen pun turut
hilang.[6]
Oleh karena
itu ukuran dan
lokasi bidang tanah tertentu yang
dimiliki oleh anggota masyarakat selalu berdasar pada seingat Kepala Desa
setempat dan dibantu
oleh sepengetahuan orang-orang
tua atau pihak-pihak yang
berbatasan, sehingga dengan
metode yang sangat
alami dan sederhana tersebut
tidak memiliki kepastian
teknis, baik ukuran,
letak dan batas-batasnya.
Jadi legalitas
yang memberikan sedikit
kepastian atas batas-batas
tanah menurut hukum adat
ini hanya mungkin
dari pengakuan para
ketua adat dan pemilik yang berbatasan, juga dari
keterlibatan Kepala Desa dalam setiap peralihan hak
yang dikenal dengan
syarat terang dan
tunai. Menurut teori transaksi hukum adat, jual beli tanah
adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang
bersifat terang dan
tunai. Terang berarti
perbuatan pemindahan hak tersebut
harus dilakukan di
hadapan kepala adat,
yang berperan sebagai
pejabat yang menanggung keteraturan
dan sahnya perbuatan
pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut
diketahui oleh umum.
Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan
hak dan pembayaran
harganya dilakukan secara
serentak.
Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah
di bayar secara kontan, atau baru dibayar
sebagian (tunai dianggap
tunai). Dalam hal
pembeli tidak membayar sisanya,
maka penjual tidak
dapat menuntut atas
dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum
utang-piutang.[7]
- b. Pendaftaran Tanah Era Penjajahan
Indonesia mengalami
sejarah panjang pada
masa penjajahan, sehingga berdampak luas
bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara, tidak
terkecuali terhadap
penguasaan atas tanah.
Sejarah mencatat pertama
kali bangsa Indonesia dijajah oleh
bangsa Belanda, pada
saat itu pula
tanah dikuasai oleh
pemerintah kolonial Belanda yang
waktu itu bernama
V.O.C (Verenigde Oost
Indische Compagnie) yang didirikan
pada tahun 1602.
Beberapa waktu kemudian pemerintah V.O.C
mengeluarkan kebijakan penting
yaitu plakat tanggal
23 Juli 1680, dalam
plakat tersebut berisi
hal-hal yang mengatur
mengenai susunan dan tugas
Dewan Heemraden. Menurut Irawan
Soerodjo, dari ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Pasal 16
plakat itu ada
2 (dua) hal
yang perlu dicatat sehubungan dengan perkembangan
kadaster, yaitu :
- Penyelenggaraan kadaster oleh Dewan Heemraden harus dilakukan berdasarkan peta-peta tanah sehingga Dewan Heemraden harus menyelenggarakan suatu kadaster dalam arti yang modern;
- Tujuan penyelenggaraan kadaster adalah untuk tujuan pemungutan pajak tanah dan memberikan jaminan kepastian hukum mengenai batas-batas tanah;
- Dewan Heemraden di samping menyelenggarakan kadaster, bertugas pula untuk menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan batas-batas tanah serta pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, saluran-saluran air, tanggul-tanggul dan bendungan-bendungan.[8]
Berdasarkan ketentuan
di dalam plakat
tersebut, maka dewan Heemraden secara otomatis
telah memperkenalkan kepada
rakyat Indonesia terkait
sistem kadaster modern. Pada
saat itu belum
ada peraturan yang
mengatur tentang Agraria atau Agrarische Wet,
kemudian pada periode
tahun 1870 diundangkan dalam Staatblad 1870 No.55 yang
dibuat oleh pemerintah kolonial. Jadi
menurut sejarah tersebut, lebih
dulu peraturan yang
mengatur tentang pendaftaran
tanah. Hal ini menunjukan
bahwa peraturan pelaksanaan
yang lebih dulu
dibuat dan disahkan daripada
undang-undang.[9]
Agrarische Wet
merupakan Undang-Undang (dalam
bahasa Belanda disebut “wet”) yang dibuat oleh kerajaan
Belanda pada tahun 1870. Agrarische Wet (AW) diundangkan dalam
S 1870-55 sebagai
tambahan ayat-ayat baru
pada Pasal 62 Regerings Reglement
Hindia Belanda tahun
1854. Semula Regerings Reglement (RR) tersebut terdiri atas 3 ayat.
Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 s/d 8) oleh AW, maka Pasal RR terdiri atas 8 ayat. Pasal
62 RR kemudian menjadi Pasal 51 Indische Staatregeling
(IS) pada tahun
1925. Lengkapnya isi
Pasal 51 IS
adalah sebagai berikut :
- De Gouverneur Generaal mag geen verkoopen.
- In dit verbod zijn niet begrepen kleine stukken gronds, bestemd tot uitbreiding van steden en dorpen en tot het oprichten van inrichtingen van nijverheid.
- De Gouverneur Generaal kan groden uitgeven in huur, volgens regels bij ordonnantie testellen. Onder die groden worden niet begrepen de zoodanige door de Inlanders ontgonnen, of als gemeene weide, of uit eenigen anderen hoofde tot de dorpen of dessa’s behoorende.
Artinya :
- Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
- Dalam larangan di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha kerajinan.
- Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan adalah tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan tanah, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat pengembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa.[10]
Sebelum UUPA berlaku, semua tanah
hak barat sudah terdaftar, misalnya hak Eigendom, Erfpacht, Opstal, dan Gebruik,
yang diselenggarakan menurut overschrijvings ordinnantie (Staatblad. 1834-37) dan peraturan-peraturan kadaster lainnya.[11]
Sedangkan tanah-tanah hak Indonesia baru sebagian kecil saja yang terdaftar,
misalnya tanah hak
milik adat yang
disebut Agrarisch Eigendom dan tanah-tanah
milik di daerah-daerah
Swapraja, seperti Grant Sultan, Grant Controleur dan
sebagainya.[12]
Dengan ketentuan inilah
pendaftaran tanah dengan balik
nama mulai diaktifkan,
itu pun hanya
berlaku atas beralihnya
tanah yang tunduk pada
hukum perdata Belanda
dengan model cadaster landmeter
kennis. Sekalipun di beberapa
daerah, hukum masyarakat
adat seperti Kesultanan
Siak dan Kesultanan Yogyakarta
sudah pernah memperkenalkan pencatatan
tanah namun jika ini
dianggap sebagai pendaftaran
tanah, hanya sekedar
pencatatan dalam memudahkan pengambilan
pajaknya (landrente) sebagai
kewajiban desa sebagaimana
dikenal dengan model hoemraden kennis.[13]
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945),
Kadastral Dienst diganti namanya menjadi
Jawatan Pendaftaran Tanah
dan tetap di
bawah Departemen Kehakiman. Pada
masa ini berlaku
pelarangan pemindahan hak
atas benda tetap atau
tanah (Osamu Sierei No.2 Tahun 1942),
dan penguasaan tanah-tanah partikelir oleh Pemerintahan Dai Nippon dihapus. Pada
prinsipnya urusan pertanahan dilaksanakan seperti jaman kolonial Belanda.[14]
Saat memasuki
perang kemerdekaan hingga
tahun 1960 tidak
banyak mengalami perubahan yang
mendasar dalam sistem
pendaftaran tanah. Karena pemerintah kita baru menyatakan
sebagai suatu negara. Negara yang merdeka dan berdaulat bebas
dari penjajahan bangsa
lain. Pendaftaran tanah
pada masa ini hampir
tidak pernah diadakan
oleh pemerintah. Tapi
peraturan yang digunakan masih memakai peraturan yang lama
dibuat oleh pemerintah Kolonial Belanda.
- c. Pendaftaran Tanah Era UUPA hingga Sekarang
Pada tahun
1960 bangsa kita
memasuki suatu babak
baru dalam bidang pertanahan atau agraria, karena pada
tahun ini baru pertama kali membuat
produk hukum yang menyangkut perkembangan pertanahan di
Indonesia. Tepatnya pada tanggal 24 September 1960 pemerintah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA), Lembaran Negara Republik
Indonesia (LNRI) Tahun
1960 Nomor 104
dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia (TLNRI) No. 2043.[15]
Pada era
ini hukum tanah
di Indonesia mengalami
perombakan pada saat diberlakukan Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA),
sehingga dapat dikatakan bahwa pada
tanggal tersebut muncul
pembaharuan hukum tanah
yang berlaku di Indonesia. UUPA
mengakhiri berlakunya peraturan-peraturan hukum
tanah kolonial, dan sekaligus
mengakhiri dualisme atau
pluralisme hukum tanah
di Indonesia, serta menciptakan
dasar-dasar bagi pembangunan
hukum tanah nasional yang
tunggal berdasarkan hukum adat sebagai hukum nasional Indonesia yang asli. Akan
tetapi ada beberapa penyesuaian dan syarat-syarat khusus tentang pengakuan dan
pemasukan hukum adat
dalam UUPA, seperti
termaktub dalam Pasal 5 UUPA
dinyatakan bahwa:
“Hukum agraria yang berlaku di atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang didasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Posisi pendaftaran
tanah yang merupakan
bagian dari urusan
agraria kemudian mengacu pada
UUPA, ketentuan pendaftaran
tanah pada UUPA terdapat dalam Pasal 19. Aturan ini
kemudian diatur lebih lanjut melalui peraturan pelaksana, yaitu
PP Nomor 10
tahun 1961 yang
kemudian diganti dengan
PP Nomor 24 Tahun
1997, hadirnya peraturan
pelaksana ini menjadi
jawaban akan kebutuhan kepastian
hukum pada para
pemilik tanah. Mengingat
pendaftaran tanah
diselenggarakan untuk menjamin
kepastian hukum, pendaftaran
tanah ini diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah. Dengan adanya PP
Nomor 10 tahun
1961 untuk pertama
kalinya Indonesia mempunyai suatu lembaga tanah, hal ini tambah
sempurna dengan dikeluarkannya PP Nomor 24
Tahun 1997. Sebelum
adanya kedua produk
hukum ini, dikenal
Kantor Kadaster sebagai Kantor Pendaftaran untuk hak-hak atas tanah.[16]
Perubahan dari PP Nomor 10 Tahun
1961 dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 menjadikan
aturan pelaksana dari
UUPA lebih sempurna.
Penyempurnaan itu meliputi
berbagai hal yang belum jelas dalam peraturan yang lama (PP Nomor 10 Tahun 1961),
antara lain pengertian
pendaftaran tanah itu
sendiri, asas-asas dan tujuan
penyelenggaraannya, yang disamping
memberi kepastian hukum
juga untuk menghimpun dan
menyajikan informasi yang
lengkap mengenai data
fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan.[17]
Selain itu selama
lebih dari 37 tahun, dalam
pelaksanaan UUPA pendaftaran tanah dengan landasan kerja dan landasan hukum
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun
1961 hanya dapat
mendaftar sebanyak 16,5
juta bidang tanah
(30%) dari bidang-bidang tanah
yang diperkirakan sebanyak
55 juta bidang
tanah, sehingga perlu terobosan
baru dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut termasuk meninjau perangkat
hukum-nya. Terlebih lagi
akselerasi pembangunan sangat memerlukan dukungan
jaminan kepastian hukum
di bidang pertanahan.[18]
Oleh karena Peraturan
Pemerintah dinilai tidak
memadai lagi dalam
mendukung tercapainya hasil yang
lebih nyata dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat
dan tuntutan pembangunan, maka
peraturan tersebut mengalami
perlakuan penyempurnaan,
dengan membuat aturan
yang lebih lengkap.
Untuk itulah terbitnya revisi
Peraturan Pemerintah Nomor
10 tahun 1961
yang dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sangat penting.[19]
Hadirnya Peraturan
Pemerintah tersebut dalam
urusan pendaftaran tanah merupakan perintah
dari Pasal 19
ayat (1) UUPA.
Dalam Pasal tersebut
diatur bahwa “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Sehingga A.P. Parlindungan berpendapat jika dikaitkan dengan tujuan pendaftaran
tanah sebagaimana disebutkan dalam PP Nomor
24 Tahun 1997
maka dapat memperkaya
ketentuan Pasal 19
UUPA, karena :
- Dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
- Dengan informasi pertanahan yang tersedia di Kantor Pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan Negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya.
- Dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.[20]
Tujuan Pendaftaran Tanah
Kegiatan pendaftaran tanah
memiliki tujuan sebagaimana disampaikan dalam UUPA Pasal
19 ayat (1)
yakni "Untuk menjamin
kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah." Sebagai peraturan pelaksana
dari UUPA sejalan
pernyataan tersebut tujuan
pendaftaran tanah di dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 3 dijabarkan
lebih luas yaitu :
- a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
- b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar, untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Menurut A.P.
Parlindungan jika dikaitkan
dengan tujuan pendaftaran
tanah sebagaimana
disebutkan dalam PP
Nomor 24 Tahun
1997 maka dapat memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA,
karena :
- Dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
- Dengan Informasi pertanahan yang tersedia di Kantor Pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan Negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya.
- Dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.[21]
Tujuan pendaftaran
tanah merupakan sarana
penting mewujudkan kepastian hukum, penyelenggaraan pendaftaran
tanah dalam masyarakat modern merupakan tugas
Negara yang dilaksanakan
oleh Pemerintah bagi
kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian
hukum dibidang pertanahan.[22]
Obyek Pendaftaran Tanah
Di dalam
UUPA obyek pendaftaran
tanah atau dikenal
dengan hak-hak atas tanah menurut ketentuan yang ditetapkan
UUPA Pasal 16 terdiri dari :
a. Hak milik,
b. Hak guna-usaha,
c. Hak guna-bangunan,
d. Hak sewa,
e. Hak membuka tanah,
f. Hak memungut-hasil hutan,
g. Hak-hak lain
yang tidak termasuk
dalam hak-hak tersebut
di atas yang
akan ditetapkan dengan Undang-Undang
serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagai yang
disebutkan dalam Pasal 53.
Sedangkan di
dalam Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun
1997 lebih memperluas obyek
pendaftaran tanah, yaitu tidak hanya hak atas tanah, tetapi juga hak-hak yang
lain. Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menetapkan obyek-obyek
pendaftaran tanah, yaitu:
- a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, serta hak pakai;
- b. Tanah hak pengelolaan;
- c. Tanah wakaf;
- d. Hak milik atas satuan rumah susun;
- e. Hak tanggungan;
- f. Tanah Negara.[23]
Asas Pendaftaran Tanah
Asas-asas pendaftaran tanah
terdapat dalam PP Nomor 24 tahun 1997 Pasal 2 menyebutkan “Pendaftaran tanah
dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir
dan terbuka.” Urip
Santoso menjelaskan asas-asas pendaftaran tanah
di dalam Pasal
2 PP Nomor
24 Tahun 1997
tersebut diatas yaitu:
- 1) Asas sederhana
Asas ini
dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya
maupun prosedurnya dengan mudah
dapat dipahami oleh
pihak-pihak yang berkepentingan,
terutama para pemegang hak atas tanah.
- 2) Asas aman
Asas ini
dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa pendaftaran tanah
perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat
memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu
sendiri.
- 3) Asas terjangkau
Asas ini
dimaksudkan keterjangkauan bagi
pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan
memerhatikan kebutuhan dan
kemampuan golongan ekonomi lemah.
Pelayanan yang diberikan
dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa
terjangkau oleh pihak yang memerlukan.
- 4) Asas mutakhir
Asas ini dimaksudkan kelengkapan
yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam
pemeliharaan datanya. Data
yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir.
Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari.
Asas ini menuntut dipeliharanya
data pendaftaran tanah
secara terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang
tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.
- 5) Asas terbuka
Asas ini
dimaksudkan agar masyarakat
dapat mengetahui atau
memperoleh keterangan
mengenai data fisik
dan data yuridis
yang benar setiap
saat di Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota.[24]
Peran PPAT Dalam Proses Pendaftaran Tanah
Berdasarkan PP
Nomor 37 Tahun
1998 Pasal 1
ayat (1) bahwa
“Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”
Sedangkan akta-akta otentik
sebagaimana dimaksud diatas dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (4) bahwa
“Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”
Berkaitan dengan
itu tugas pokok
dan wewenang PPAT
dalam Pasal 2 ayat
(1) menjelaskan bahwa :
“PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.”
Dalam salah
satu unsur akta
otentik yang dibuat
oleh PPAT tentu
memuat mengenai perbuatan hukum
bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, secara rinci berbagai unsur perbuatan hukum tersebut
dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) yaitu :
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan ke dalam perusahaan
(inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian Hak Guna
Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Pemberian Kuasa membebankan
Hak Tanggungan.
Secara lebih
lengkap maksud perbuatan
hukum tersebut diatas
terdapat dalam PP Nomor 24 Tahun
1997 Pasal 37 ayat (1) yakni :
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli. tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Mengingat peran
penting PPAT dalam
proses kegiatan pendaftaran
tanah, sehingga Boedi Harsono
berpendapat bahwa Akta
PPAT merupakan salah
satu sumber utama dalam
rangka pemeliharaan pendaftaran
tanah di Indonesia.[25] PPAT sudah
dikenal sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah, yang
merupakan peraturan tanah
sebagai pelaksana UUPA.
Alamat Kantor Notaris PPAT Lumajang |
============================================================
Footnote;
[1] A.P.Parlindungan, Pendaftaran
Tanah Di Indonesia (Berdasarkan PP.No24/1997dilengkapi dengan Peraturan Jabatan
Pembuat Akta Tanah PP. 37 Tahun 1998), Cetakan Pertama, (Bandung : CV.Mandar
Maju, 1999), hlm. 18-19.
[2] Boedi Harsono, Hukum Agraria
Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid I, Edisi
Revisi, Cetakan Kesebelas, (Jakarta : Djambatan, 2007), hlm.72.
[3] Arie Sukanti
Hutagalung et.al., Hukum Pertanahan
di Belanda dan
Indonesia, Edisi 1, Cetakan Pertama, (Denpasar : Pustaka
Larasan, 2012), hlm.133.
[4] A.P.Perlindungan, Pandangan Kondisi
Pelaksanaan Undang-Undang Pokok
Agraria, Cetakan Pertama, (Bandung : Alumni, 1986), hlm.11.
[5] AP.Parlindungan, Pendaftaran Tanah
di Indonesia, Cetakan
Kedua, (Bandung :
Mandar Maju, 1994), hlm.60.
[6] Tampil Anshari
Siregar, Pendaftaran Tanah Kepastian
Hak, Cetakan Pertama,
(Medan : Multi Grafik, 2007),
hlm.3.
[7] Soerjono Soekanto
dan Soleman B.
Taneko, Hukum Adat Indonesia,
Cetakan Ketiga, (Jakarta :
Rajawali Press, 1986), hlm.211.
[8] Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum
Hak Atas Tanah
Di Indonesia, Cetakan
Kedua, (Surabaya : Arkola, 2003), hlm.59
[9] Hairan, “Pendaftaran Tanah
Dalam Sertipikasi Hak
Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah”,
Makalah disampaikan di
Fakultas Hukum Universitas
Mulawarman. Kalimantan Timur, 5 Februari 2012, hlm.2.
[10] Boedi Harsono, op.cit.,
hlm.33
[11] Arie Sukanti Hutagalung,
et.al, op.cit., hlm.234.
[12] Ibid.
[13] Irawan Soerodjo, Kepastian
Hukum..op.cit, hlm.59-60.
[14] Tubagus Haedar Ali, “Perkembangan
Kelembagaan Pertanahan/Agraria dan Keterkaitannya Dengan Penataan
Ruang”, Makalah disampaikan
di Ceramah Dasawarsa Bhumi Bhakti
Adiguna, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta 29 Februari 1998, hlm.2
[15] Hairan, loc.cit
[16] Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,
Cetakan Pertama, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm.112.
[17] Soedharyo Soimin, Status Hak
dan Pembebasan Tanah,
Edisi Kedua, (Jakarta
: Sinar Grafika, 2004), hlm.161.
[18] Mhd.Yamin Lubis
& Rahim Lubis, Hukum
Pendaftaran Tanah, Edisi
Revisi, Cetakan Kedua, (Bandung :
CV.Mandar Maju, 2010)., hlm.91.
[19] Ibid.
[20] A.P.Parlindungan, Komentar Atas
Undang-Undang Pokok Agraria,
Cetakan Kesembilan, (Bandung :
Mandar Maju, 2002), hlm.112
[21] Ibid.
[22] Boedi Harsono, op.cit, hlm.
72.
[23] Linda M. Sahono,
“Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah Dan Implikasi Hukumnya”, Jurnal
Perspektif, Edisi No.2, Vol.17, (2012), hlm.92
[24] Urip Santoso, Pendaftaran dan
Peralihan Hak Atas
Tanah, Cetakan Kedua, (Jakarta
: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.17-18.
[25] Boedi Harsono, op.cit., hlm.507.