Notaris Lumajang: "Akibat Hukum dari Pembatalan Akta PPJB"
Notaris Lumajang Update Minggu 19 Januari 2020
Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) sebenarnya tidak ada perbedaan dengan perjanjian pada umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang- undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.
Perjanjian pengikatan jual beli lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang-undangan yang ada dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah. Persyaratan yang timbul dari undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas baru Akta Jual Beli (AJB) dapat ditandatangani. Pada umumnya persyaratan yang sering timbul adalah persyaratan yang lahir kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli, misalnya pada waktu akan melakukan jual beli, pihak pembeli menginginkan adanya sertipikat hak atas tanah yang akan dibelinya sedangkan hak atas tanah yang akan dijual belum mempunyai sertipikat, dan di sisi lain misalnya, pihak pembeli belum mampu untuk membayar semua harga hak atas tanah secara lunas, sehingga baru dibayar setengah dari harga yang disepakati.[1]
Dengan keadaan di atas tentunya akan menghambat untuk pembuatan akta jual belinya, karena pejabat pembuat akta tanah akan menolak untuk membuat akta jual belinya karena belum selesainya semua persyaratan tersebut. Untuk tetap dapat melakukan jual beli maka para pihak sepakat bahwa jual beli akan dilakukan setelah sertipikat selesai di urus, atau setelah harga dibayar lunas dan sebagainya. Untuk menjaga agar kesepakatan itu tetap terlaksana dengan baik sementara persyaratan yang diminta bisa tetap dapat diurus, maka biasanya pihak yang akan melakukan jual beli menuangkan kesepakatan awal tersebut dalam bentuk perjanjian yang kemudian dikenal dengan nama perjanjian pengikatan jual beli. Dalam prakteknya, perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris lazim disebut dengan akta pengikatan jual beli (PJB).[2]
Pengertian perjanjian pengikatan jual beli dapat kita lihat dengan cara memisahkan kata dari Perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian dan pengikatan jual beli. Perjanjian pengertiannya dapat dilihat pada sub bab sebelumnya, sedangkanPerjanjian Pengikatan Jual Beli menurut R.Subekti pengertiannya adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi terlebih dahulu untuk untuk dapat dilakukan jual beli antara lain adalah sertipikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga. Sedang menurut Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.[3]
Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/ utama biasanya adalah berupa janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian pokoknya. Misalnya dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam klausul perjanjiannya biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun pihak pembelinya tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat agar perjanjian pokoknya yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli tersebut dapat ditanda tangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seperti janji untuk melakukan pengurusan sertipikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagaimana diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari penjual sebagai akta jual beli dapat ditandatangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).[4]
Selain janji-janji biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli juga dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli.Hal ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), baik karena lokasi yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya.Dan pemberian kuasa tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanah di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah terpenuhi.[5]
Calon pembeli pada umumnya perlu melakukan cek bersih ke kantor pertanahan dimana tanah tersebut berada, sementara calon penjual perlu meminta uang muka (DP) sebagai tanda keseriusan pembelian tanah tersebut dari calon pembeli. Dalam rangka pemeriksaan ke kantor pertanahan dan pembayaran uang muka tersebut maka diperlukan adanya perjanjian pengikatan jual beli sebagai ikatan awal keseriusan para pihak untuk melakukan transaksi jual beli atas tanah tersebut.[6]
Dalam hal apabila seseorang ingin menjual sebidang tanah dan pihak yang satu lagi berkeinginan untuk membelinya maka mereka akan datang ke hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk dimintakan pembuatan akta jual beli atas tanah tersebut. Namun karena suatu sebab tertentu jual beli tersebut tidak dapat dilaksanakan, misalnya karena jual beli tersebut tidak lunas. Namun seandainya para pihak tersebut tetap berkeinginan untuk dimintakan pembuatan akta jual beli, untuk mengantisipasi hal itu PPAT yang juga berprofesi sebagai seorang Notaris akan menyarankan kepada para pihak untuk membuat akta persetujuan jual beli. Tujuan dari dibuatnya akta persetujuan jual beli tersebut salah satunya adalah agar pihak penjual dapat memperoleh sebagian atau seluruhnya dari harga jual beli tersebut dan pihak pembeli dapat memperoleh hak atas tanah tersebut walaupun secara riil belum terjadi.[7]
Faktor utama yang menyebabkan orang melakukan perjanjian pengikatan jual beli adalah karena jual beli itu belum lunas (secara cicilan) dan untuk menunda kewajiban membayar pajak, karena dengan melakukan transaksi perjanjian jual beli, pajak tidak akan timbul karena tidak ada pendaftaran peralihan hak sebagaimana yang diwajibkan di dalam peraturan mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dengan kata lain dapat dikatakan hal itu untuk sementara menunda pelaksanaan pembayaran pajak.
Dari semua pengertian yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Akta Pengikatan Jual Beli menurut pendapat peneliti adalah surat yang ditandatangani antara penjual dan pembeli dalam jual-beli hak atas tanah sebelum dilaksanakannya jual beli yang sebenarnya dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli yang berfungsi sebagai Perikatan bersyarat yang bentuknya bebas.[8]
Menurut Sudikno Mertokusomo, yang disampaikan pada Konperda IPPAT (Konperensi Daerah Ikatan PPAT) Jawa Tengah pada tanggal 15 Februari 2004, disamping hakim yang menemukan hukum adalah Notaris. Notaris memang bukan hakim yang harus memeriksa dan mengadili perkara, namun Notaris mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penerapan yang diperintahkan oleh peraturan umum atau diminta oleh yang bersangkutan. Notaris menghadapi masalah hukum Konkrit yang diajukan oleh klien yang minta dibuatkan akta. Masalah hukum Konkrit atau peristiwa yang diajukan oleh hakim merupakan peristiwa Konkrit yang masih harus dipecahkan atau dirumuskan menjadi peristiwa hukum yang merupakan tugas Notaris disinilah Notaris melakukan penemuan hukum.[9]
Dengan demikian penemuan hukum yang dilakukan oleh Notaris yaitu Pengikatan Jual Beli (PJB) dimana penemuan tersebut adalah untuk memecahkan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak sebelum melakukan jual-beli sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak atas tanah, dimana semua persyaratan tersebut tidak selamanya dapat dipenuhi dalam sekali waktu oleh para pihak yang akan melakukan jual-beli hak atas tanah, adalah tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengertian dari akta otentik diterangkan dalam Pasal 1868 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
”Suatu Akta Otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang di buat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”.[10]
Berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas dapatlah dilihat bahwa untuk akta otentik bentuk dari aktanya ditentukan oleh Undang-undang dan harus dibuat oleh atau dihadapan Pegawai yang berwenang. Pegawai yang berwenang yang dimaksud disini antara lain adalah Notaris, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan berwenang lainnya sebagai dimaksud dalam Undang-undang ini.
Jadi sesuai yang aturan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditetapkan atau dapat dikatakan bahwa syarat untuk akta otentik adalah sebagai berikut :
- a. Akta itu harus dibuat “oleh” (door) atau “dihadapan” (ten overstaan) seorang pejabat umum;
- b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-undang;
- c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa aka itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Pengikatan jual beli tidak dibuat dihadapan pejabat umum maka Pengikatan Jual Beli (PJB) menjadi akta di bawah tangan, dan untuk Akta dibawah tangan lebih lanjut diatur dalam Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi :
"Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain, tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum."[11]
Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang tertinggal dari seorang Notaris atau pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-Undang dari mana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah diperjelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan dihadapan pegawai tadi. Pegawai ini harus membukukan tulisan tersebut.Dengan Undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.[12]
Maksud dari pasal di atas adalah mengatur mengenai akta dibawah tangan yang baru mempunyai ketentuan pembuktian kepada Pihak Ketiga apabila setelah dibuat pernyataan di depan Notaris, caranya adalah dengan menandatangani akta tersebut dihadapan Notaris atau pejabat yang ditunjuk untuk pengesahan tanda tangan (seperti Pejabat Konsuler, Kedutaan, Kepala Daerah mulai dari tingkat Bupati ke atas) dengan menjelaskan isinya terlebih dahulu kepada Para Pihak baru kemudian dilakukan penandatanganan dihadapan Notaris atau Pejabat Umum yang berwenang.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa untuk Pengikatan Jual Beli (PJB) yang tidak dibuat dihadapan pejabat umum atau akta dibawah tangan baru mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga antara lain apabila dibubuhi suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Berdasarkan semua keterangan yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan hukum dari akta perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris dalam pelaksanaan pembuatan Akta Jual Belinya adalah sangat kuat. Hal ini karena Pengikatan Jual Beli (PJB) yang dibuat dihadapan notaris, maka aktanya telah menjadi akta notaril sehingga merupakan akta otentik, sedangkan untuk yang dibuat tidak dihadapan notaris maka menjadi akta dibawah tangan yang pembuktiannya berada dibawah akta otentik, walaupun dalam Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memang disebutkan bahwa akta dibawah tangan dapat mempunyai pembuktian yang sempurna seperti akta otentik apabila tanda tangan dalam akta tersebut diakui oleh para pihak yang menanda tanganinya.
Namun ketentuan dalam Pasal 1875 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menunjuk kembali 1871 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa akta dibawah tangan dapatlah menjadi seperti akta otentik namun tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat didalamnya, karena akan dianggap sebagai penuturan belaka selain sekedar apa yang dituturkan itu ada hubungan langsung dengan pokok isi akta.[13]
Pengikatan jual beli pun harus diikuti dengan akta kuasa.Pengikatan dan kuasa tersebut juga merupakan pasangan yang tidak terpisahkan. Kuasa dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah tujuannya memberikan jaminan kepada penerima kuasa (pembeli), setelah syarat-syarat yang diharuskan dalam jual beli tanah dipenuhi, untuk dapat melaksanakan sendiri hak-hak yang timbul dalam pengikatan jual beli atau menandatangani sendiri akta jual beli tanpa perlu kehadiran pemberi kuasa (penjual) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).[14]
Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tersebut di atas jelas juga hal tersebut melanggar peraturan yang sampai saat ini masih berlaku. Namun demikian jika Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, apabila dikembalikan pada undang-undang yaitu Pasal 1719 KUH Perdata tentang pemberian kuasa (last giving), khususnya pada Pasal 1813 KUH Perdata serta Instruksi Mandagri No. 14 Tahun 1982 juga berdasarkan PP 24 Tahun 1997, tentang berakhirnya suatu pemberian kuasa, apabila dikaitkan dengan Pasal 1338 KUH Perdata tentang “para pihak dapat memperjanjikan”.
Dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah dan bangunan dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan jual beli, apabila hal-hal yang belum dapat dipenuhi pada saat perjanjian pengikatan jual beli tersebut pada saat melakukan jual beli telah selesai dilakukan dengan baik oleh para pihak.
Ada 3 (tiga) faktor yang menyebabkan terjadinya pembatalan dalam suatu pengikatan jual beli yaitu:[15]
- Karena adanya kesepakatan dari para pihak
- Karena syarat batal sebagaimana yang tercantum dalam klausul pengikatan jual beli telah terpenuhi
- Karena pembatalan oleh pengadilan atas tuntutan dari salah satu pihak
Perjanjian pengikatan jual beli tanah ini berfungsi sebagai alat pembuktian apabila salah satu pihak wanprestasi dan untuk menuntut berdasarkan pada pasal- pasal yang telah disepakati. Bentuk-bentuk wanprestasi yang dapat terjadi dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah antara lain:[16]
- Pembeli menunda-nunda pembayaran harga tanah yang seharusnya telah dibayar atau baru membayar sekian hari setelah tanggal jatuh tempo, ataupun pembeli melakukan pembayaran tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.
- Pembeli tidak membayar denda atas keterlambatannya membayar harga tanah itu atau terlambat membayar denda itu.
- Penjual melakukan tindakan-tindakan yang dengan nyata melanggar perjanjian pengikatan jual beli tanah, misalnya menjual obyek dari perjanjian tersebut kepada pihak lain.
Tuntutan pembatalan hanya dapat dilakukan terhadap perjanjian timbal balik.Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang masing-masing pihak mengikatkan diri untuk melakukan prestasi dan sebaliknya pihak lawan berhak atas prestasi. Dalam perjanjian sepihak tidak dapat dituntut pembatalan berdasarkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Perdata (KUH Perdata) karena dalam perjanjian sepihak kewajiban melakukan prestasi hanya ada pada salah satu pihak dan tuntutan pembatalan justru merupakan cara untuk membebaskan diri dari kewajiban melakukan prestasi bagi pihak yang tidak melakukan wanprestasi.
Perjanjian pengikatan jual beli tanah dalam praktek sering dibuat dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan notaris, sehingga akta pengikatan jual beli tanah merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.Hal ini dimaksudkan oleh para pihak untuk lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum masing-masing pihak, maka bentuk pengikatan jual beli tanah secara tertulis tentu akan mempermudah para pihak untuk menyelesaikan perselisihan jika hal tersebut terjadi di kemudian hari.
==============================================================
Footnote:
- [1] Rusdianto, Dony Hadi,Beberapa Catatan Penting Tentang Pengikatan Jual-Beli Hak Atas Tanah, Mitra Ilmu,(Jakarta: Rineka Cipta, 2009) hlm. 41.
- [2] Setyawan,Pokok-pokok Hukum Perikatan,(Jakarta: Bina Cipta, 1987) hlm. 36.
- [3] Herlien Budiono, artikel “Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Mutlak”Majalah Renovi,edisi tahun I, No. 10 Bulan Maret, 2004 hlm. 57.
- [4] Jaya Gunawan,Perkembangan Hukum Perdata Bidang Perjanjian Innominaat (TakBernama, (Bandung: Citra Ilmu, 2010) hlm.10.
- [5] Kamaluddin Patradi,Pemberian Kuasa Dalam Praktek Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah, (Yogyakarta: Gamma Press, 2010) hlm.20.
- [6] Darwanto Gadiman,Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian PengikatanJual-Beli Tanah Bersertipikat, (Bandung: Sumber Ilmu, 2008) hlm.9.
- [7] Heriyanto Jusran,Hukum Perjanjian Innominaat Dalam Praktek, (Jakarta: Citra Media Ilmu, 2009) hal.15.
- [8] I b i d, hal.6.
- [9] Sudikno Mertokusumo, artikel Arti Penemuan Hukum”, Majalah Renvoi, edisi tahun I,No. 12, Bulan Mei 2004, hlm. 48-49.
- [10] M. Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung:Alumni, 1996) hlm. 12.
- [11] Ibid, hal.50.
- [12] Pieter E Latumenten.,“Kuasa Menjual Dalam Akta Pengikatan Jual Beli (Lunas) TidakTermasuk Kuasa Mutlak”, Jurnal Renvoi 4 (September 2003, 37), hlm. 42.
- [13] Ferdiyanto Syahrul,Kewajiban Dan Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta,(Bandung: Sumber Ilmu, 2006) hlm.11.
- [14] A. Kohar,Notaris Dalam Praktek Hukum, (Bandung: Alumni, 1983) hlm. 47.
- [15] Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perjanjian,(Bandung: Alumni, 1994) hlm. 28.
- [16] Purwahid Patrik,Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1986) hlm. 24.