Notaris Lumajang: "Akibat Hukum dari Pembatalan Akta PPJB"

Notaris Lumajang Update Minggu 19 Januari 2020

Perjanjian  pengikatan  jual  beli (PPJB) sebenarnya  tidak  ada  perbedaan  dengan perjanjian pada umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian  yang  lahir  akibat  adanya  sifat  terbuka  dari  Buku  III  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Perdata  (KUH  Perdata),  yang  memberikan  kebebasan  yang seluas-luasnya  kepada  subyek  hukum  untuk  mengadakan  perjanjian  yang  berisi apa  saja  dan  berbentuk  apa  saja,  asalkan  tidak  melanggar  peraturan  perundang- undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

Perjanjian  pengikatan  jual  beli  lahir  sebagai  akibat  terhambatnya  atau terdapatnya  beberapa  persyaratan  yang  ditentukan  oleh  undang-undang  yang berkaitan  dengan  jual  beli  hak  atas  tanah  yang  akhirnya  agak  menghambat penyelesaian  transaksi  dalam  jual  beli  hak  atas  tanah.  Persyaratan  tersebut  ada yang lahir dari peraturan perundang-undangan yang ada dan ada pula yang timbul sebagai  kesepakatan  para  pihak  yang  akan  melakukan  jual  beli  hak  atas  tanah. Persyaratan yang timbul dari undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas baru Akta Jual Beli (AJB) dapat ditandatangani. Pada umumnya persyaratan yang sering  timbul  adalah  persyaratan  yang  lahir  kesepakatan  para  pihak  yang  akan melakukan  jual  beli,  misalnya  pada  waktu  akan  melakukan  jual  beli,  pihak pembeli  menginginkan  adanya  sertipikat  hak  atas  tanah  yang  akan  dibelinya sedangkan  hak  atas  tanah  yang  akan  dijual  belum  mempunyai  sertipikat,  dan  di sisi  lain  misalnya,  pihak  pembeli  belum  mampu  untuk  membayar  semua  harga hak  atas  tanah  secara  lunas,  sehingga  baru  dibayar  setengah  dari  harga  yang disepakati.[1]
PPJB Lumajang

Dengan keadaan di atas tentunya akan menghambat untuk pembuatan akta jual belinya, karena  pejabat pembuat akta tanah akan menolak untuk  membuat akta jual belinya karena belum selesainya semua persyaratan tersebut. Untuk tetap dapat melakukan jual beli maka para pihak sepakat bahwa jual beli akan dilakukan setelah sertipikat selesai di urus, atau setelah harga dibayar lunas dan sebagainya. Untuk  menjaga agar kesepakatan itu tetap terlaksana dengan baik sementara persyaratan yang diminta bisa tetap dapat diurus, maka biasanya pihak yang akan melakukan jual beli  menuangkan kesepakatan awal tersebut dalam bentuk perjanjian yang kemudian dikenal dengan nama perjanjian pengikatan jual beli. Dalam  prakteknya, perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris lazim disebut dengan akta pengikatan jual beli (PJB).[2]
Pengertian  perjanjian  pengikatan  jual  beli  dapat  kita  lihat  dengan  cara memisahkan  kata  dari  Perjanjian  pengikatan jual beli menjadi perjanjian dan pengikatan jual beli. Perjanjian pengertiannya  dapat dilihat pada sub bab sebelumnya, sedangkanPerjanjian Pengikatan Jual Beli menurut R.Subekti pengertiannya adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya  jual  beli  dikarenakan  adanya  unsur-unsur  yang  harus  dipenuhi terlebih dahulu untuk untuk dapat dilakukan jual beli antara lain adalah sertipikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga. Sedang menurut Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli   adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.[3]

Isi   dari   perjanjian   pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan  untuk  lahirnya  perjanjian  pokok/  utama  biasanya adalah berupa janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian pokoknya. Misalnya dalam perjanjian  pengikatan  jual  beli  hak  atas  tanah,  dalam  klausul perjanjiannya biasanya  berisi  janji-janji  baik  dari  pihak  penjual  hak  atas  tanah  maupun  pihak pembelinya  tentang pemenuhan  terhadap  syarat-syarat  agar  perjanjian  pokoknya yaitu  perjanjian  jual  beli  dan  akta  jual  beli  tersebut  dapat  ditanda tangani dihadapan  Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah  (PPAT),  seperti janji  untuk  melakukan pengurusan sertipikat tanah  sebelum  jual  beli  dilakukan sebagaimana diminta pihak  pembeli, atau janji untuk  segera  melakukan  pembayaran  oleh  pembeli sebagai syarat dari penjual sebagai akta jual beli dapat ditandatangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).[4]

Selain  janji-janji  biasanya  dalam  perjanjian  pengikatan  jual  beli  juga dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli.Hal ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), baik karena lokasi yang  jauh,  atau  karena  ada  halangan  dan  sebagainya.Dan  pemberian  kuasa tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanah di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah terpenuhi.[5]

Calon  pembeli  pada  umumnya  perlu  melakukan  cek  bersih  ke  kantor pertanahan dimana tanah tersebut berada, sementara calon penjual perlu meminta uang  muka  (DP)  sebagai  tanda  keseriusan  pembelian  tanah  tersebut  dari  calon pembeli. Dalam rangka pemeriksaan ke kantor pertanahan dan pembayaran uang muka  tersebut  maka  diperlukan  adanya  perjanjian  pengikatan  jual  beli  sebagai ikatan awal keseriusan para pihak untuk melakukan transaksi jual beli atas tanah tersebut.[6]

Dalam  hal  apabila  seseorang  ingin  menjual    sebidang  tanah  dan  pihak yang  satu  lagi  berkeinginan  untuk  membelinya  maka  mereka  akan  datang  ke hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk dimintakan pembuatan akta jual beli atas  tanah  tersebut. Namun karena suatu sebab  tertentu jual beli tersebut tidak dapat dilaksanakan, misalnya karena jual beli tersebut tidak lunas.   Namun seandainya  para pihak tersebut tetap berkeinginan untuk dimintakan pembuatan akta jual  beli, untuk mengantisipasi hal itu PPAT yang juga berprofesi sebagai seorang Notaris akan  menyarankan  kepada  para  pihak  untuk  membuat akta persetujuan jual beli. Tujuan dari  dibuatnya  akta persetujuan jual beli tersebut salah satunya adalah agar pihak penjual dapat memperoleh  sebagian  atau seluruhnya dari harga jual beli tersebut dan pihak pembeli dapat memperoleh hak atas tanah tersebut walaupun secara riil belum terjadi.[7]

Faktor utama yang menyebabkan orang melakukan perjanjian pengikatan jual  beli  adalah  karena  jual  beli  itu  belum  lunas  (secara  cicilan)  dan untuk menunda kewajiban membayar   pajak, karena dengan melakukan transaksi perjanjian   jual   beli,   pajak   tidak   akan   timbul   karena   tidak   ada   pendaftaran peralihan hak sebagaimana yang diwajibkan di dalam peraturan mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dengan kata lain dapat dikatakan hal itu untuk sementara menunda pelaksanaan pembayaran pajak.

Dari semua pengertian yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa  pengertian  Akta  Pengikatan  Jual  Beli  menurut  pendapat  peneliti  adalah surat  yang  ditandatangani  antara  penjual  dan  pembeli  dalam  jual-beli  hak  atas tanah  sebelum  dilaksanakannya  jual  beli  yang  sebenarnya  dikarenakan  adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli yang berfungsi sebagai Perikatan bersyarat yang bentuknya bebas.[8]

Menurut Sudikno Mertokusomo, yang disampaikan pada Konperda IPPAT (Konperensi Daerah Ikatan PPAT) Jawa Tengah pada tanggal 15 Februari 2004, disamping hakim yang menemukan  hukum adalah Notaris. Notaris memang bukan  hakim  yang  harus memeriksa dan mengadili  perkara, namun Notaris mempunyai  wewenang  untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penerapan  yang diperintahkan oleh peraturan umum atau diminta oleh  yang  bersangkutan.  Notaris  menghadapi masalah hukum Konkrit  yang diajukan  oleh  klien  yang  minta  dibuatkan  akta.  Masalah  hukum  Konkrit  atau peristiwa  yang  diajukan  oleh  hakim  merupakan  peristiwa  Konkrit  yang  masih harus  dipecahkan  atau  dirumuskan  menjadi  peristiwa  hukum  yang  merupakan tugas Notaris disinilah Notaris melakukan penemuan hukum.[9]

Dengan  demikian  penemuan  hukum  yang  dilakukan  oleh Notaris yaitu Pengikatan Jual Beli (PJB) dimana penemuan tersebut adalah untuk memecahkan rumitnya  persyaratan  yang  harus  dipenuhi  oleh  para  pihak  sebelum  melakukan jual-beli sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak atas  tanah,  dimana  semua  persyaratan  tersebut  tidak  selamanya  dapat  dipenuhi dalam sekali waktu oleh para pihak yang akan melakukan jual-beli hak atas tanah, adalah tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengertian dari akta otentik diterangkan dalam Pasal 1868 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
”Suatu Akta Otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang di buat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa   untuk itu ditempat  dimana akta dibuatnya”.[10]
Berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas dapatlah dilihat bahwa untuk akta otentik bentuk dari aktanya ditentukan oleh Undang-undang dan harus dibuat oleh atau dihadapan Pegawai yang berwenang. Pegawai yang berwenang yang dimaksud disini antara lain adalah Notaris, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang  Jabatan  Notaris  yang  menyatakan  bahwa  Notaris  adalah  Pejabat  Umum yang  berwenang  untuk  membuat  akta  otentik  dan  berwenang  lainnya  sebagai dimaksud dalam Undang-undang ini.

Jadi sesuai yang aturan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  ditetapkan  atau  dapat  dikatakan  bahwa  syarat  untuk  akta  otentik  adalah sebagai berikut :
  • a. Akta itu harus dibuat “oleh” (door) atau “dihadapan” (ten  overstaan) seorang pejabat umum;
  • b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-undang;
  • c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa aka itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Dari  keterangan  di  atas  terlihat  bahwa  pada  Pengikatan  Jual  Beli  (PJB), yang  dibuat  dihadapan  atau  oleh  Notaris  maka  akta  perjanjian  Pengikatan  Jual Beli (PJB) menjadi sebuah akta yang otentik. Karena telah dibuat dihadapan atau oleh  pejabat  yang  berwenang  (salah  satunya  Notaris)  sehingga  telah  memenuhi ketentuan  atau  syarat  tentang  akta  otentik  yaitu  harus  dibuat  “oleh”  ( door)  atau “dihadapan” (ten overstaan) seorang pejabat umum.

Pengikatan   jual   beli   tidak   dibuat   dihadapan   pejabat   umum   maka Pengikatan  Jual  Beli  (PJB)  menjadi  akta  di  bawah  tangan,  dan  untuk  Akta dibawah  tangan  lebih  lanjut  diatur  dalam  Pasal  1874  Kitab  Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi :
"Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan  rumah  tangga dan lain-lain, tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum."[11]
Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang tertinggal dari seorang Notaris atau pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-Undang dari mana ternyata bahwa   ia   mengenal   si   pembubuh   cap   jempol,   atau   bahwa   orang   ini   telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah diperjelaskan kepada orang itu, dan  bahwa  setelah  itu  cap  jempol  tersebut  dibubuhkan  dihadapan  pegawai  tadi. Pegawai  ini  harus  membukukan  tulisan  tersebut.Dengan  Undang-undang  dapat diadakan    aturan-aturan    lebih    lanjut    tentang    pernyataan    dan    pembukuan termaksud.[12]

Maksud dari pasal di atas adalah mengatur mengenai akta dibawah tangan yang baru mempunyai ketentuan pembuktian kepada Pihak Ketiga apabila setelah dibuat pernyataan di depan Notaris, caranya adalah dengan menandatangani akta tersebut  dihadapan  Notaris  atau  pejabat  yang  ditunjuk  untuk  pengesahan  tanda tangan  (seperti  Pejabat  Konsuler,  Kedutaan,  Kepala  Daerah  mulai  dari  tingkat Bupati ke atas) dengan menjelaskan isinya terlebih dahulu kepada Para Pihak baru kemudian  dilakukan  penandatanganan  dihadapan  Notaris  atau  Pejabat  Umum yang berwenang.

Dari  keterangan  di  atas  terlihat  bahwa  untuk  Pengikatan  Jual  Beli  (PJB) yang  tidak  dibuat  dihadapan  pejabat  umum  atau  akta  dibawah  tangan  baru mempunyai  kekuatan  terhadap  pihak  ketiga  antara  lain  apabila  dibubuhi  suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk  oleh  Undang-undang  sebagaimana  diatur dalam  Pasal  1874  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Berdasarkan  semua  keterangan  yang  telah  dikemukakan  di  atas  maka dapat  disimpulkan  bahwa  kekuatan  hukum  dari  akta  perjanjian  pengikatan  jual beli hak atas tanah yang dibuat oleh Notaris dalam pelaksanaan pembuatan Akta Jual Belinya adalah sangat kuat. Hal ini karena Pengikatan Jual Beli (PJB) yang dibuat  dihadapan  notaris,  maka  aktanya  telah  menjadi  akta  notaril  sehingga merupakan  akta  otentik,  sedangkan  untuk  yang  dibuat  tidak  dihadapan  notaris maka  menjadi  akta  dibawah  tangan  yang  pembuktiannya  berada  dibawah  akta otentik,  walaupun  dalam  Pasal  1875  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Perdata memang  disebutkan  bahwa  akta  dibawah  tangan  dapat  mempunyai  pembuktian yang  sempurna  seperti  akta  otentik  apabila  tanda  tangan  dalam  akta  tersebut diakui oleh para pihak yang menanda tanganinya.

Namun ketentuan dalam Pasal 1875 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menunjuk kembali 1871 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa  akta  dibawah  tangan  dapatlah  menjadi  seperti  akta  otentik  namun  tidak memberikan bukti  yang sempurna tentang apa  yang termuat didalamnya, karena akan  dianggap  sebagai  penuturan  belaka  selain  sekedar  apa  yang  dituturkan  itu ada hubungan langsung dengan pokok isi akta.[13]

Pengikatan  jual  beli  pun  harus  diikuti  dengan  akta  kuasa.Pengikatan  dan kuasa  tersebut  juga  merupakan  pasangan  yang  tidak  terpisahkan.  Kuasa  dalam perjanjian  pengikatan  jual  beli  tanah  tujuannya  memberikan  jaminan  kepada penerima kuasa (pembeli), setelah syarat-syarat yang diharuskan dalam jual beli tanah  dipenuhi,  untuk  dapat  melaksanakan  sendiri  hak-hak  yang  timbul  dalam pengikatan  jual  beli  atau  menandatangani  sendiri  akta  jual  beli  tanpa  perlu kehadiran  pemberi  kuasa  (penjual)   dihadapan   Pejabat  Pembuat  Akta  Tanah (PPAT).[14]

Berdasarkan  Instruksi  Menteri  Dalam  Negeri  Nomor  14  Tahun  1982 tersebut di atas jelas juga hal tersebut melanggar peraturan yang sampai saat ini masih berlaku. Namun demikian jika Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun  1982  tentang  Larangan  Penggunaan  Kuasa  Mutlak  Sebagai  Pemindahan Hak  Atas  Tanah,  apabila  dikembalikan  pada  undang-undang  yaitu  Pasal  1719 KUH Perdata tentang pemberian kuasa (last giving), khususnya pada Pasal 1813 KUH Perdata serta Instruksi Mandagri No. 14 Tahun 1982 juga berdasarkan PP 24  Tahun  1997,  tentang  berakhirnya  suatu  pemberian  kuasa,  apabila  dikaitkan dengan Pasal 1338 KUH Perdata tentang “para pihak dapat memperjanjikan”.

Dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah dan bangunan dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan jual beli, apabila hal-hal  yang belum dapat dipenuhi pada saat perjanjian pengikatan jual beli tersebut pada saat melakukan jual beli telah selesai dilakukan dengan baik oleh para pihak.

Ada 3 (tiga) faktor yang menyebabkan terjadinya pembatalan dalam suatu pengikatan jual beli yaitu:[15]
  1. Karena adanya kesepakatan dari para pihak
  2. Karena syarat batal sebagaimana yang tercantum dalam klausul pengikatan jual beli telah terpenuhi
  3. Karena pembatalan oleh pengadilan atas tuntutan dari salah satu pihak
Pengikatan jual beli tanah yang dilakukan dihadapan notaris tidak mengakibatkan hak atas tanah  tersebut beralih pada saat itu juga dari tangan pemilik tanah kepada calon pembeli. Hal ini  disebabkan karena  pengikatan  jual beli merupakan perikatan bersyarat atau perjanjian pendahuluan   sebelum dilaksanakannya perjanjian jual beli  melalui  Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). 
Perjanjian pengikatan jual beli tanah ini berfungsi sebagai alat pembuktian apabila salah satu pihak wanprestasi dan untuk menuntut berdasarkan pada pasal- pasal yang telah disepakati. Bentuk-bentuk wanprestasi yang dapat terjadi dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah antara lain:[16]
  1. Pembeli  menunda-nunda  pembayaran harga tanah yang seharusnya telah dibayar  atau  baru  membayar sekian  hari  setelah tanggal jatuh tempo, ataupun pembeli  melakukan  pembayaran  tetapi  tidak  sebagaimana  yang diperjanjikan.
  2. Pembeli tidak membayar denda atas keterlambatannya membayar harga tanah itu atau terlambat membayar denda itu.
  3. Penjual melakukan tindakan-tindakan yang dengan nyata melanggar perjanjian pengikatan jual beli tanah, misalnya menjual obyek dari perjanjian tersebut kepada pihak lain.
Perjanjian pengikatan jual beli tanah tidak berakhir karena salah satu pihak meninggal  dunia.Perjanjian  pengikatan  jual beli tanah dapat diputuskan  oleh kedua  belah  pihak.Penjual  dapat  memutuskan  perjanjian pengikatan jual beli tanah  jika  pembeli  tidak  sanggup  meneruskan  kewajibannya untuk membayar harga tanah sesuai dengan yang diperjanjikan.Selain itu, juga pembeli mengundurkan diri atau membatalkan transaksi karenaperjanjian pengikatan jual beli tanah dapat diputuskan.

Tuntutan  pembatalan  hanya  dapat  dilakukan  terhadap  perjanjian  timbal balik.Perjanjian   timbal   balik   adalah   perjanjian   yang   masing-masing   pihak mengikatkan  diri  untuk  melakukan  prestasi  dan  sebaliknya  pihak  lawan  berhak atas   prestasi.   Dalam   perjanjian   sepihak   tidak   dapat   dituntut   pembatalan berdasarkan  Pasal  1266  Kitab  Undang-Undang  Perdata  (KUH  Perdata)  karena dalam perjanjian sepihak kewajiban melakukan prestasi hanya ada pada salah satu pihak  dan  tuntutan  pembatalan  justru  merupakan  cara  untuk  membebaskan  diri dari kewajiban melakukan prestasi bagi pihak yang tidak melakukan wanprestasi.

Perjanjian  pengikatan  jual  beli  tanah  dalam  praktek  sering  dibuat  dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan notaris, sehingga akta pengikatan jual beli  tanah  merupakan  akta  otentik  yang  memiliki  kekuatan  pembuktian  yang sempurna.Hal   ini   dimaksudkan   oleh   para   pihak   untuk   lebih   memberikan perlindungan    dan    kepastian    hukum    masing-masing    pihak,    maka    bentuk pengikatan  jual  beli  tanah  secara  tertulis  tentu  akan  mempermudah  para  pihak untuk menyelesaikan perselisihan jika hal tersebut terjadi di kemudian hari.
==============================================================
Footnote:
  • [1] Rusdianto,  Dony Hadi,Beberapa  Catatan  Penting  Tentang  Pengikatan  Jual-Beli Hak Atas Tanah, Mitra Ilmu,(Jakarta: Rineka Cipta, 2009) hlm. 41.
  • [2]  Setyawan,Pokok-pokok Hukum Perikatan,(Jakarta: Bina Cipta, 1987) hlm. 36.
  • [3] Herlien  Budiono,  artikel  “Pengikatan  Jual  Beli  dan  Kuasa  Mutlak”Majalah  Renovi,edisi tahun I, No. 10 Bulan Maret, 2004 hlm. 57.
  • [4] Jaya  Gunawan,Perkembangan  Hukum  Perdata  Bidang  Perjanjian  Innominaat  (TakBernama, (Bandung: Citra Ilmu, 2010) hlm.10.
  • [5] Kamaluddin Patradi,Pemberian Kuasa Dalam Praktek Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah, (Yogyakarta: Gamma Press, 2010) hlm.20.
  • [6] Darwanto  Gadiman,Hak  Dan  Kewajiban  Para  Pihak  Dalam  Perjanjian  PengikatanJual-Beli Tanah Bersertipikat, (Bandung: Sumber Ilmu, 2008) hlm.9.
  • [7] Heriyanto Jusran,Hukum Perjanjian Innominaat Dalam Praktek, (Jakarta: Citra Media Ilmu, 2009) hal.15.
  • [8] I b i d, hal.6.
  • [9] Sudikno Mertokusumo, artikel Arti Penemuan Hukum”, Majalah Renvoi, edisi tahun I,No. 12, Bulan Mei 2004, hlm. 48-49.
  • [10] M. Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung:Alumni, 1996) hlm. 12.
  • [11] Ibid, hal.50.
  • [12] Pieter E Latumenten.,“Kuasa Menjual Dalam Akta Pengikatan Jual Beli (Lunas) TidakTermasuk Kuasa Mutlak”, Jurnal Renvoi 4 (September 2003, 37), hlm. 42.
  • [13] Ferdiyanto  Syahrul,Kewajiban  Dan  Kewenangan  Notaris  Dalam  Pembuatan  Akta,(Bandung: Sumber Ilmu, 2006) hlm.11.
  • [14] A. Kohar,Notaris Dalam Praktek Hukum, (Bandung: Alumni, 1983) hlm. 47.
  • [15] Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perjanjian,(Bandung: Alumni, 1994) hlm. 28.
  • [16] Purwahid Patrik,Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1986) hlm. 24.